Skip to main content

Hubungan Antara Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu Dan Tertib Politik (Politik Order)

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berkembangnya aspirasi-aspirasi politik gres dalam masyarakat yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi politik lebih besar, dengan sendirinya menunutut pelembagaan sejumlah susukan baru, diantaranya melalaui pembentukan partai politik baru. Tetapi pengalaman dibeberapa dunia ketiga memperlihatkan pembentukan partai gres tidak akan banyak bermanfaat kalau sistem kapartaiannya sendiri tidak ikut diperbaharui.
Biasanya kajian teoritis perihal sistem kepartaian mengacu pada dua aspek. Pertama, kajian yang menyoroti sistem kepartaian berdasarkan aspek tipologi numerik (numerical typology), yaitu sejumlah partai yang dianutnya. Kedua, kajian yang menyoroti sistemaspirasi politik gres dalam masyarakat yang disertai dengan kebutuhan terhadap partisipasi Hubungan antara Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu dan Tertib Politik (Politik Order) kepartaian berdasarkan basis pembentukan dan orientasi ideologisnya, yaitu antara partai inklusif dan eksklusif. Berbagai kajian mengenai sejumlah sistem kepartaian di dunia berdasarkan tipologi numerik menunjukkan, setiap sistem yang ada-partai tunggal, dwipartai, atau multipartai mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam hubungannya dengan tinggi-rendahnya
indeks demokratisasi. Artinya tidak ada jaminan bahwa jumlah partai menentukan tingkat demokratisasi.
Samuel Huntington menegaskan bahwa dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian gres disebut kokoh dan adaptabel, kalau ia bisa menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial gres yang muncul sebagai akhir modernisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diharapkan guna menampung partisipasi politik. Sistem kepartaian yang kokoh, demikian Huntington, sekurang-kurangnya harus mempunyai dua kapasitas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sistem Kepartaian
1.      Sistem Kepartaian
Sistem kepartaian ialah referensi sikap dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian ialah referensi kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan fatwa politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sistem kepartaian belumlah menjadi seni politik yang mapan. Artinya, tata cara melaksanakan penjabaran sistem kepartaian belum disepakati oleh para peneliti ilmu politik. Namun, yang paling gampang dan paling banyak dilakukan peneliti ialah berdasarkan jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik. Peter Mair memuatnya dalam tabel berikut :
Tabel sistem kepartaian
Peneliti
Kriteria klasifikasi
Sistem kepartaian
Maurice Duverger
Jumlah partai
1.      Sistem dua partai
2.      Sistem multi partai
Robert Dahl
Kompetitif oposisi
1.      Kompetitif-murni
2.      Kompetitif-kooperatif
3.      Kompetitif koalisi
4.      Koalisi murni
Blondel
Jumlah partai : ukuran partai secara relatif
1.      Sistem 2 partai
2.      Sistem 2 partai dan setengah partai
3.      Multi partai dengan satu partai yang dominan
4.      Multi partai tanpa partai yang dominan
Giovani Sartori
Jumlah partai dan jarak ideologi
1.      Sistem 2 partai
2.      Pluralisme moderat
3.      Pluralisme terpolarisasi
4.      Sistem partai yang berkuasa
(harus di isi/search?q=sistem-kepartaian-dan-partai-politik)
Dari tabel di atas, kelihatan beberapa cara melaksanakan penjabaran sistem kepartaian. Maurice Duverger melakukannya berdasarkan jumlah partai, Robert Dahl berdasarkan skala kompetisi yang opositif, Blondel melaksanakan berdasarkan ukuran jumlah dan besar partai secara relatif dan Giovani Sartori berdasarkan jumlah partai dan jarak ideologi antar partai-partai tersebut.
B.     Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan Umum ialah suatu kejadian politik yang sangat menarik.                Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang fundamental pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga sanggup diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai. Dalam suatu forum perwakilan rakyat, menyerupai dewan perwakilan rakyat atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer bunyi pemilih kedalam suatu bangku dilembaga legislatif atau parlemen. Namun, saat pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah bunyi yang diperolehnya. Dalam bahasa yang sederhana, sistem pemilihan ini intinya berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang – ajakan setidak – tidaknya mengandung  tiga variabel pokok, yaitu penyuaran (balloting), distrik pemilihan (electoral district), dan formula pemilihan (Ramlan, 1992 : 177). Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu ialah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat usaha kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan alam.
1.      Formula Pemilihan
Fomula pemilihan, maksudnya rumus yang digunakan untuk menentukan siapa atau partai politik apa yang memenangkan bangku di suatu tempat pemilihan. Formula di bedakan menjadi tiga, yaitu formula pluralis (perolehan bunyi lebih banyak dari yang lain), formula mayoritas (perolehan bunyi 50% +1), formula perwakilan berimbang (jmlah perolehan bunyi dibagi dengan jumlah bangku yang diterapkan untuk tempat pemilihan yang bersangkutan)
Dalam suatu sistem pemerintahan demokrasi perwakilan, sistem pemilihan penting lantaran beberapa alasan. Pertama, sistem pemilihan mempunyai konsekuensi-konsekuensi pada tingkat proporsionalitas hasil pemilihan. Sistem pemilu proporsional misalnya, diyakini sanggup menjamin tingkat proporsionalitas hasil pemilihan dibanding dengan sistem pemilu yang lain
Kedua, sistem pemilihan mempunyai dampak pada jenis kabinet yang akan dibentuk, apakah akan menghasilkan suatu bentuk kabinet satu partai atau koalisi antar partai. Sistem pemilihan proporsional misalnya, cenderung menghasilkan kabinet koalisi antar partai dibanding sistem pemilihan lainnya
Ketiga, sistem pemilihan mempunyai dampak kepada bentuk sistem kepartaian, khususnya berkaitan dengan jumlah parpol di dalam sistem kepartaian. Sistem pemilu proporsional diyakini cenderung menghasilkan sistem banyak partai dibandingkan sistem kepartaian lainnya.
Keempat, sistem pemilihan mempunyai dampak kepada akuntabilitas pemerintahan, khususnya akuntabilitas para wakil terhadap pemilihnya. Ada sistem pemilu yang secara internal sanggup memaksa para wakil terpilih bertanggung jawab kepada para pemilihnya, sehingga tingkat akuntabilitas politiknya tinggi
Kelima, sistem pemilu mempunyai dampak pada tingkat kohesi partai politik. Misalnya sistem pemilihan proporsional cenderung membuat fragmentasi partai-partai politik dibandingkan sistem pemilihan yang lain.
Keenam, sistem pemilihan kuat pada bentuk dan tingkat partisipasi politik warga. Ada kecenderungan, negara-negara yang menerapkan sistem registrasi pemilihan secara aktif (pemilih mendaftarkan diri ke panitia pemilihan) menimbulkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam pemilu.
Ketujuh, sistem pemilihan ialah elemen demokrasi yang lebih gampang untuk di manipulasikan dibandingkan dengan elemen demokrasi lainnya. Oleh lantaran itu, bila seseorang bermaksud mengubah tampilan atau wajah demokrasi disuatu negara, hal itu sanggup dilakukan dengan gampang melalui perubahan sistem pemilihannya
Kedelapan, sistem pemilihan sanggup dimanipulasi melalui banyak sekali peraturan yang tidak demokratis dalam tingkat pelaksanaannya. Akibatnya, pemilu yang oleh banyak kalangan dinilai sebagai tolok ukur demokrasi, dalam banyak hal tidak bisa menjadi parameter yang akurat, khususnya di beberapa negara yang sedang berkembang.
Oleh lantaran itu, sangat penting untuk memahami bagaimana bantu-membantu kerangka kerja masing-masing sistem pemilihan dan perlu diperhatikan juga apa implikasi masing-masing sistem pemilihan tersebut bagi kehidupan politik di suatu negara.
Pada sistem pemilihan proposional dengan daftar tertutup misalkan, kualitas calon ditentukan pada daftar urutan calon anggota DPR. Urutan yang paling kecil memperlihatkan berbobot atau tidaknya caleg yang diajukan, lantaran semakin kecil nomor urut, semakin besar kemungkinan menjadi anggota dewan perwakilan rakyat dan sebaliknya, lantaran kita menentukan tanda gambar bukan menentukan orang. Partailah yang harus dianggap salah kalau banyak anggota dewan perwakilan rakyat yang tidak mengerti akan hak-haknya sebagai anggota DPR, lantaran partai yang menentukan dcantumkannya seorang calon disana.
Begitu juga sistem distrik ataupun sistem proporsional dengan daftar terbuka, tetaplah partai yang menjadi penentu. Partai menentukan seseorang menjadi kandidiat atau tidak, hanya saja memang setelah nama kandidat itu muncul barulah pemilih yang menentukannya secara langsung.
Bobot suatu sistem pemilu dan kepartaian lebih banyak memnag terletak pada nilai demokratis didalamnya, dalam artian hanya terkait dengan bagaimana pemilu sanggup memperlihatkan hak kepada setiap pemilih untuk memperlihatkan suaranya sesuai dengan keyakinan pilihannya, dan bagaimana setiap kontestan pemilihan akan memperoleh pinjaman secara adil, yaitu peluang yang sama bagi setiap kandidat untuk meraih kemenangan.

2.      Sistem Perwakilan Berimbang
Gagasan pokok sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation) terletak pada sesuainya jumlah bangku parlemen yang diperoleh suatu golongan atau partai dengan jumlah bunyi yang diperoleh dari masyarakat. Pada sistem ini negara dibagi dalam beberapa tempat pemilihan yang besar, dan setiap tempat pemilihan menentukan sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam tempat pemilihan itu. Dengan demikian kekuatan suatu partai dalam masyarakat tercermin dalam jumlah bangku yang diperolehnya dalam parlemen, artinya pinjaman masyarakat bagi partai itu sesuai atau proporsional dengan jumlah bangku dalam parlemen. Menurut beberapa kalangan Sistem Perwakilan Berimbang mempunyai kelebihan, diantaranya :
Dianggap demokratis dan representatif, oleh lantaran semua fatwa yang ada dalam masyarakat terwakili dalam parlemen, sedangkan jumlah wakil dalam tubuh itu sesuai dengan jumlah bunyi yang diperoleh dari masyarakat dalam masing-masing tempat pemilihan;
Dianggap lebih adil lantaran golongan kecil sekalipun mempunyai kesempatan untuk mendudukkan wakil dalam departemen. Wakil rakyat yang dipilih dengan cara ini diharapkan lebih cenderung untuk mengutamakan kepentingan nasional daripada kepentingan daerah;
Demikian pula Sistem Perwakilan Berimbang mempunyai kekurangan, yakni :
a.       Mempermudah fragmentasi partai dan menjadikan kecendrungan kuat di kalangan anggota untuk memisahkan diri dari partainya dan membentuk partai baru.
b.      Wakil yang terpilih mersa dirinya lebih terikat kepada partai daripada kepada tempat yang mewakilinya disebabkan partai lebih menonjol kiprahnya daripada kepribadian seseorang.
c.       Banyaknya partai yang bersaing menyulitkan suatu partai untuk meraih mayoritas (50%+1) yang perlu membentuk suatu pemerintahan. Terpaksa partai terbesar mengusahakan suatu koalisi dengan beberapa partai lain untuk memperoleh mayoritas dalam parlemen. Koalisi semacam ini sering tidak langgeng sehingga tidak membina stabilitas politik.
d.      Biasanya sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa mekanisme lain antara lain dengan sistem daftar (List System), yang kemudian dibagi lagi menjadi sistem daftar terbtutup dan sistem daftar terbuka.
e.       Dalam sistem daftar tertutup setiap partai mengajukan satu daftar calon dan si pemilih menentukan memilih satu partai dengan semua calon yang dicalonkan oleh partai itu, untuk banyak sekali bangku yang diperebutkan. Kelemahan sistem ini, yakni tidak dikenalnya calon wakil oleh pemilih direvisi oleh sistem daftar terbuka dengan pemilih mencoblos wakilnya secara langsung dari daftar nama calon selain menentukan tanda gambar.
Selain itu Kelebihan Proposional Terbuka ialah :
a)      Representatif, pinjaman masyarakat tercermin dalam jumlah wakil DPR;
b)      Memberi peluang bagi orang yang disegani di tempat untuk mendapat tempat di DPR;
c)      Anggota dewan perwakilan rakyat akan lebih independen dan kedudukannya dalam kekerabatan dengan pimpinan partai dan tidak usah terlalu takut akan direcall bila berbeda pendapat dengan pimpinan partai dan pihak lain;
d)     Kedudukan yang lebih kuat dari masing-masing anggota dewan perwakilan rakyat akan sanggup meningkatkan kualitas DPR.
3. Sistem Distrik
Sistem DIstrik, merupakan sistem pemilihan yang paling renta didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon dalam satu distrik memperoleh bunyi terbanyak menag sedang suara-suara yang diberikan kepada calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya.
Kelebihan Sistem Distrik :
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih biasanya dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk lebih erat. Dengan demikian ia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Kedudukan terhadap partai lebih bebas, lantaran dalam pemilihan semacam ini faktor kepribadian seseorang merupakan faktor yang penting;
a.       Lebih mendorong integrasi parpol lantaran bangku yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Juga mendorong ke arah penyederhanaan partai secara ilmiah.
b.      Sederhana dan gampang untuk diselenggarakan.
c.       Terbatasnya jumlah partai dan meningkatnya kerjasama antar partai mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan tercapainya stabilitas nasional.
Kekurangan Sistem Distrik :
a.       Kurang menguntungkan bagi partai kecil dan golongan minoritas.
b.      Kurang representatives, calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan semua bunyi yang mendukungnya(banyak bunyi yang hilang).
c.       Bisa terjadi kesenjangan antara jumlah bunyi yang diperoleh dari masyarakat dan jumlah bangku yang diperoleh atas parlemen, menguntungkan partai besar.
Dari gagasan-gagasan pokok di atas yang menjadi dasar keberadaan kedua sistem ini, lebih banyak memang penekanannya terletak pada perwujudan pemerintahan yang representatif dan legitimate dilihat dari sudut kepentingan menegakkan demokrasi, yaitu dirancang untuk memenuhi :
a)      Menerjemahkan bunyi yang diperoleh dalam pemilu menjadi bangku di badan-badan legislatif. Sistem tersebut mungkin bisa memperlihatkan bobot lebih pada proposionalitas jumlah bunyi yang diraih dengan bangku yang dimenangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan bunyi (betapapun terpecahnya keadaan partai) ke parlemen yang terdiri dari dua kutub partai-partai besar yang mewakili sudut pandang yang berbeda;
b)      Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubuing yang memungkinkan rakyat sanggup menagih tanggung jawab atau akad wakil-wakil yang telah mereka pilih (Ben Reilly : 1999, Halaman 25)

C.    Hubungan antara Sistem Kepartaian, Sistem Pemilu dan Tertib Politik (Politik Order)
Merujuk pada proposisi yang dikemukan oleh Maurice Duverger dan Robert Michels, pilihan suatu masyarakat pada sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan sistem pemilu yang sesuai dengan latar belakang masyarakat, mempunyai kemungkinan untuk menghasilkan suatu pemerintahan yang mempunyai stabilitas politik “ political order”. Namun sebaliknya, kesepakatan masyarakat untuk memakai suatu sistem kepartaian tertentu yang dikombinasikan dengan penerapan suatu sistem pemilu yang tidak sesuai dengan latar belakang masyarakat, mempunyai peluang untuk melahirkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil.
            Secara lebih detail kekerabatan antara sistem kepartaian dengan sistem pemilu, backgourd masyarakat, dan stabilitas politik sanggup dielaborasi dalam enam hipotesis sebagai berikut:
a)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik yang diterapkan pada masyarakat yang backgroundnya homogen, dari sisi etnis, fatwa pemikiran politik, agama mempunyai peluang besar untuk menghasilkan stabilitas politik.
b)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakaat yang mempunyai background heterogen mempunyai kecederungan untuk menghasilkan kehidupan politik yang stabil. Namun, memungkinkan aspirasi politik masyarakat yang heterogen yang tidak tertampung oleh dua partai politik.
c)      Sistem dua partai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang background heterogen mempunyai peluang lebih besar pada kehidupan politik yang kurang stabil, terutama pada awal perkembangannya.
d)     Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan model distrik pada masyarakat yang backgroundnya homogen akan mempunyai kecenderungan menuju pada kehidupan politik yang bergerak ke arah stabilitas. Hal tersebut dikarenakan akan mendorong terjadinya evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem dua partai.
e)      Sistem multipartai yang dikombinasikan dengan sistem pemilu model proposional pada masyarakat yang background heterogen akan mempunyai kecenderungan menghasilkan suatu kehidupan politik yang tidak stabil. Hal tersebut tidak mendorong untuk terjadi evolusi sistem kepartaian menuju pada sistem kepartaian yang sederhana. (sistem dua partai).
f)       Sistem multipartai dikombinasikan dengan sistem pemilu model distrik pada masyarakat yang backgroundnya heterogen, mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan stabilitas politik, namun mempunyai peluang yang menjadikan ketidakpuasan politik.
Sejarah perkembangan sistem pemilu secara umum telah berkembang melalui tiga sistem yaitu;
1.      Pluralisme- Mayoritas (di dalamnya mencakup FPTP, Block Vote, TRS dan Alternative Vote)
2.      Semi Reprensentasi Proposional ( yang terdiri dari LIST, MMP, STV).
3.      Sistem Proposional ( yang terdiri dari dalam Handbook of Voter Turnout 1945-1997:A global Report on Political Partisipation, Internasional IDEA dinyatakan bahwa pada tahun 1945, sebanyak 80% negara-negara Demokrasi memakai sistem Representatif Proposional (RP). Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Selandia Baru, memakai Sistem First Past the Post (FPTP) ; Kebanyakkan Negara-Negara Eropa menggunakkan Two Round System (TRS). Pada 1950 Jepang memakai Singgle Non-Transforrable Vote (SNTV), sedangkan Jerman, sehabis perang dunia kedua, memakai Mixed Member Protisonal (MMP).
Adanya banyak sekali varian sistem politik memperlihatkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang tepat yang sanggup digunakan untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan contohnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok bila diterapkan pada masyarakat yang mempunyai background beragam dari banyak sekali aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini mempunyai tingkat kesesuaian yang lebih besar bila digunakan pada pelaksanaan  pemilu bagi masyarakat yang mempunyai background sosial yang tidak terlalu heterogen.
Untuk kondisi di Indonesia, yang masyarakatnya mempunyai background fatwa pemikiran politik, etnis, agama, budaya yang heterogen secara teoritis bila ingin menghasilkan suatu tata kehidupan politik yang stabil adanya political order, maka perlu pertimbangan untuk diterapkan sistem pemilu dengan model distrik. Penerapan sistem pemilu model distrik memberi dorongan untuk terjadinya evalusi sistem kepartaian banyak partai kepada dua sietem partai. Jika berhasil didorong berjalannya evolusi sistem kepartaian  menuju sistem dua partai melalui penerapan sistem pemilu distrik maka kehidupan politik di Indonesia mempunyai kemungkinan lebih besar untuk  mencapai kestabilan politik. Namun demikian, kondisi sebaliknya akan sering hadir bila proposisi tersebut tidak sanggup dipenuhi. Kehidupan politik di Indonesia sulit diharapkan untuk bisa menghadirkan suatu tatanan politik yang stabil, bila tidak terjadi kombinasi yang serasi antara pilihan sistem kepartaian dengan sistem pemilu yang sesuaikan dengan background masyarakat Indonesia.
Kiranya perlu diberikan klarifikasi mengapa pemilu dengan sistem distrik dengan banyak sekali variannya yang merujuk pada model sistem pluralisme-mayoritas, memperlihatkan dorongan untuk secara alamiah terjadinya pengurangan jumlah partai yang ikut berkompetisi dalam pemilu?. Pelaksanaan acara yang merujuk pada model pluralitas-mayoritas yang lebih dikenal dengan sistem distrik mempunyai prinsip bahwa jumlah wakil rakyat yang akan duduk di forum perwakilan politik menyerupai parlemen (DPR) sama dengan jumlah distrik (daerah pemilihan yang ada pada suatu negara , sesuai dengan kesepakatan yang diambil oleh kekuatan politik (partai politik) yang ada pada suatu negara. Setiap satu distrik tempat pemilihan ditentukan hanya mempunyai satu wakil rakyat yang akan duduk di parlemen.
Dengan ketentuan sebagaimana dirujuk dalam sistem distrik tersebut, maka disetiap distrik hanya ada satu partai politik yang mempunyai wakil parlemen. Penerapan model tersebut secara berulang-ulang mendorong untuk memunculkan suatu kondisi kehidupan kepartaian, dimana hanya ada satu hingga dua partai yang mendapat pinjaman yang kuat di suatu distrik pemilu. Sementara itu, pemilu tidak berhasil mendatangkan pinjaman yang memadai secara alamiah akan mengalami kematian.
Bukti empiris dari negara-negara yang mempraktikan model sistem distrik secara nasional, memperlihatkan bahwa secara nasional akan lahir suatu kecenderungan lahirnya sistem dua partai, yakni hanya ada dua partai politik yang bisa eksis dan mempunyai dampak yang signifikan dalam kehidupan politik nasional. Dengan terjadinya pengurangan jumlah partai politik yang mempunyai wakil formal di forum parlemen, maka juga sanggup mengurangi serta mereduksi sumber dan istrumen untuk terjadinya banyak sekali macam konflik dalam suatu masyarakat, khususnya konflik politik. Pengurangan jumlah partai secara alamiah melalui penerapan sistem distrik juga bisa memperlihatkan iklim biar banyak sekali spektrum fatwa pemikiran politik yang mempunyai kedekatan ideologi berkumpul pada satu partai politik tertentu.
Jika kondisi tersebut sanggup terwujud hal itu berati juga salah satu fungsi partai politik untuk menjalankan fungsi administrasi konflik sanggup diperankan. Dengan demikian, kiranya sanggup dinyatakan bahwa pilihan untuk memakai model sistem peilu distrik memperlihatkan peluang pada partai politik untuk memperkuat fungsi-fungsinya sebagai pengatur konflik. Implikasi dan kondisi partai politik mempunyai konstribusi bentuk menghadirkan adanya suatu tertib politik-stabilitas kehidupan politik.
Dan pemaparan diatas, kiranya sanggup ditarik suatu pemahaman bahwa antara sistem pemilu dengan sistem kepartaian dan stabilitas politik mempunyai hubungan. Sebagaimana telah diuraikan bahwa pilihan untuk menerapkan suatu sistem pemilu tertentu contohnya sistem pemilu distrik akan mempunyai dampak pada munculnya sistem kepartaian yang dengan sistem dua partai. Sementara itu, pilihan untuk menerapkan sistem proposional akan memberi peluang untuk lahirnya sistem banyak partai pada suatu masyarakat yang secara sosial fragmentasi dan mamiliki fatwa pemikiran politik, dengan perpedaan yang tajam, akan memperlihatkan kemungkinan untuk sulit memperlihatkan bantuan bagi yang ada stabilitas politik.


BAB III
PENUTUP

Sistem kepartaian ialah referensi sikap dan interaksi diantara sejumlah partai politik dengan kata lain sistem kepartaian ialah referensi kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil, yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Selain itu, ia juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan fatwa politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Selain itu, sistem-sistem politik yang telah disebutkan, turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Pemilihan Umum ialah suatu kejadian politik yang sangat menarik. Pemilihan Umum merupakan salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan yang fundamental pada demokrasi perwakilan. Pemilu juga sanggup diartikan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai.
Adanya banyak sekali varian sistem politik memperlihatkan bahwa tidak ada suatu sistem pemilu yang tepat yang sanggup digunakan untuk semua negara. Setiap sistem pemilu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Suatu sistem pemilu mungkin sesuai dengan kondisi masyarakat yang mempunyai ciri-ciri tertentu dan kurang sesuai untuk masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yang lain. Sebagaimana telah diuraikan contohnya sistem pemilu distrik dimiliki kemungkinan kurang cocok bila diterapkan pada masyarakat yang mempunyai background beragam dari banyak sekali aspeknya. Dan sebaliknya sistem distrik ini mempunyai tingkat kesesuaian yang lebih besar bila digunakan pada pelaksanaan  pemilu bagi masyarakat yang mempunyai background sosial yang tidak terlalu heterogen.


DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 1977. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Cholisin. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Hatington, Samuel. 2004. Tertib Politik Pada masyarakat yang Sedang Berubah. Jakarta: Raja Grafindo.
Hidayat, Imam. 2009. Teori-Teori Politik. Malang: Setara Press.
Nasiwan. 2009. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Rahman. 2007. Sistem Politik Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sanit, Arbi. 1997. Partai, Pemilu dan Demokrasi.Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo.
(harus di isi/search?q=sistem-kepartaian-dan-partai-politik)


                                    Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori-Teori Politik

Disusun oleh:
           Ardi Widayanto         
  07401241043

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2010




Popular posts from this blog

Rencana-Rencana Atau Het Plan

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia yaitu suatu organisasi yang mempunyai tujuan. Tujuan negara Indonesia tersebut termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyiratkan bahwa negara Indonesia yaitu negara h u kum yang menganut welfare state . Sebagai suatu negara h u kum yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya, setiap kegiatan pemerintah di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus menjadikan h u kum yang berlaku sebagai aturan dan pola dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh lantaran itu aturan harus menjadi pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang merupakan bab dari organisasi negara menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan negara dengan mengacu pada aturan manajemen negara sebagai aturan acara pemerintahan dan memfungsikannya sebagai pengarah pencapaian tujuan yang sebelumnya telah ...

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Perihal Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang perihal Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang dipakai ialah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir dipakai kini ialah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965. Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ” Dari ketentuan pasal tersebut sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut: Wilayah Indonesia dibagi ke ...

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013  Jersey Home  Jersey Away Sumber foto: inter.it