Tugas Individu
Makalah ini disusun guna memenuhi kiprah mata kuliah Pendidikan Multikultur
BAB I
PENDAHULUAN
Otonomi kawasan memungkinkan setiap kawasan menonjolkan kekhasannya sebagai sumber potensi. Namun di sisi lain, kurun otonomi kawasan yang seluas-luasnya juga berdampak negatif bagi lokalitas dengan berkembangnya semangat etnosentrisme dan potensi disintegrasi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Efek negatif tersebut tidak terlepas dari penafsiran sempit akan makna pujian lokalitas. Lokalitas hanya dimaknai sebagai ruang kultural tanpa mempertimbangkan lokalitas sebagai suatu ruang politik di mana seluruh orang yang ada dalam lokalitas tersebut (dengan identitas etnis, ras, agama, dan kultur apapun) mempunyai hak-hak politik yang sederajat. Maka pujian yang muncul pun menjadi pujian semu yang berdiri di atas kepentingan sempit identitas suatu kelompok elit, tanpa memperhatikan kondisi massa secara keseluruhan.
Secara kultural, karakteristik masyarakat Indonesia sangat bermacam-macam meski secara umum sering disebut sebagai masyarakat multikultural. Seiring dengan perkembangan zaman, keanekaragaman masyarakat Indonesia semakin bertambah, tidak hanya dari dimensi kultural namun juga dimensi identitas (ras, etnisitas, agama). Dalam kondisi menyerupai inilah konsep multikulturalisme memperoleh relevansinya. Wacana multikulturalisme menjadi relevan manakala berhadapan dengan realitas kehidupan sosial di Indonesia yang semakin hari semakin kosmopolis.
Karenanya, mustahil suatu kebijakan publik dibentuk dengan hanya menggunakan perspektif suatu etnik atau religi, meskipun etnik atau religi tersebut ialah etnik atau religi mayoritas. Dalam kondisi yang serba beragam, perumusan kebijakan publik mestinya menjadi proses kolektif yang multiperspektif, termasuk dari sisi kultural, sehingga sanggup dihasilkan kebijakan publik yang bisa menjawab tantangan global sampaumur ini. Para wakil rakyat yang berada di dewan perwakilan rakyat RI pun dituntut untuk bisa mengantisipasi tantangan zaman tersebut, yang salahsatunya tercermin dalam banyak sekali produk aturan yang dihasilkannya. Karenanya, pemahaman mengenai multikulturalisme serta seni administrasi untuk menerapkannya dalam proses perumusan kebijakan publik sanggup menjadi awal bagi lahirnya peraturan-peraturan yang lebih demokratis.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari kata “multi” yang berarti plural, “kultural” yang berarti kultur atau budaya dan “isme” yang berarti paham atau aliran. Istilah multikulturalisme bukan sekadar akreditasi akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi akreditasi itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, Istilah multikulturalisme bukan sekadar akreditasi akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi akreditasi itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan “the right to culture”. Rumusan Multikulturalisme Menurut Rob Reich adalah
a) Multikulturalisme Deskriptif
Multikulturalisme deskriptif yaitu kenyataan sosial yang dikenal oleh pakar ilmu politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikulturalisme deskriptif tidak mengakui adanya satu konsep mengenai yang disebut sesuatu yang baik (good). Sesuatu yang baik tergantung kepada nilai pluralistik dalam masyarakat. Dengan demikian kebenaran yang disebut tunggal tidak dikenal dalam konsep multikulturalisme. Yang baik ialah yang dianggap benar oleh suatu masyarakat.
b) Multikulturalisme Normatif
Multikulturalisme Normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Artinya terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas negara bangsa untuk melaksanakan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi komitmen bersama. Dalam kaitan ini multikulturalisme normatif merupakan suatu kritik sosial dalam membangun harapan bersama dari suatu kelompok, membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas tersebut.
Multikulturalisme ialah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat insan dan kemanusiaannya. Untuk sanggup memahami multikulturalisme diharapkan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para jago yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama perihal multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Selanjutnya Suparlan mengutip Fay (1996), Jary dan Jary (1991), Watson (2000) dan Reed (ed. 1997) menyebutkan bahwa multikulturalisme ini akan menjadi contoh utama bagi terwujudnya masyarakat multikultural, alasannya multikulturalisme sebagai sebuah ideologi akan mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan. Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa menyerupai Indonesia) mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya menyerupai sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan menyerupai sebuah mosaik. Dengan demikian, multikulturalisme diharapkan dalam bentuk tata kehidupan masyarakat yang hening dan serasi meskipun terdiri dari beraneka ragam latar belakang kebudayan.
Mengingat pentingnya pemahaman mengenai multikulturalisme dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara terutama bagi negara-negara yang mempunyai aneka ragam budaya masyarakat menyerupai Indonesia, maka pendidikan multikulturalisme ini perlu dikembangkan. Melalui pendidikan multikulturalisme ini diharapkan akan dicapai suatu kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam undang-undang dasar.
2. Multikulturalisme dalam Perumusan Kebijakan Publik
Politik tidak hanya dimengerti secara formal dan kaku, tetapi lebih lugas sebagai daya upaya anggota masyarakat untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan mereka, upaya untuk bertahan menghadapi kelompok yang lebih berpengaruh secara ekonomi, sosial, dan ideologis, termasuk upaya mereka mempertahankan pandangan hidup berupa lisan budaya dan nilai-nilai atau norma-norma yang ada. Kaprikornus politik tidak hanya berurusan dengan akumulasi dan manipulasi kekuasaan tetapi juga permasalahan distribusi sumber daya (resources) secara adil.
Bentuk positif dari politik ialah kebijakan publik yang pada hakikatnya merupakan bentuk pengaturan distribusi sumberdaya-sumberdaya politik, baik yang berupa kekuasaan, kesejahteraan, kesehatan, keamanan, ketertiban, dll. Dalam konsep sistem politik, kebijakan publik bahkan dimaknai sebagai bentuk positif dari artikulasi dan agregasi banyak sekali kepentingan publik, baik yang berupa tuntutan maupun dukungan. Kebijakan publik berperan sebagai prosedur otoritatif untuk mendistribusikan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia supaya sanggup memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus menuntaskan permasalahan kesenjangan sumberdaya tersebut. Peran penting inilah yang mengakibatkan kebijakan publik harus lahir dari proses yang transparan dan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan publik seringkali tidak lahir dari suatu proses yang transparan dan partisipatif. Dalam banyak kasus, kebijakan publik justru lahir dari proses yang tertutup dan elitis, sehingga peluang terjadinya distorsi antara muatan kebijakan publik dengan kepentingan publik menjadi lebih besar. Distorsi ini bisa timbul manakala kepentingan secara umum dikuasai mendominasi proses pembuatan kebijakan publik, sehingga kepentingan minoritas terkalahkan. Selain itu, keterbatasan kemampuan untuk melaksanakan lobbying dan bargaining dalam proses kebijakan juga sanggup mengakibatkan kebijakan publik yang lahir justru bertentangan dengan kepentingan publik.
Dalam konteks masyarakat yang sangat beragam, baik secara etnisitas, ideologi, religi, ras, dll., semakin sulit untuk merancang posisi yang setara di antara banyak sekali kelompok kepentingan alasannya niscaya terdapat kelompok yang secara umum dikuasai dan juga terdapat kelompok yang menjadi minoritas. Kondisi ini merupakan fakta sosial yang tidak sanggup dihindari. Namun, bukan berarti bahwa kondisi ini tidak sanggup diubah. Di sejumlah negara, problem dilematis ini coba diatasi dengan menerapkan model demokrasi yang memungkinkan adanya affirmative action berupa akreditasi formal terhadap kesetaraan kelompok-kelompok masyarakat. Malaysia, Singapura, dan Thailand, misalnya, merupakan contoh negara-negara yang menerapkan model demokrasi konsosiasional di mana para anggota tubuh legislatif merupakan representasi dari kelompok-kelompok masyarakat yang ada, baik secara kultural maupun politik. Melalui model demokrasi ini, diharapkan tubuh legislatif sanggup menjadi ujung tombak bagi lahirnya kebijakan-kebijakan publik yang multikulturalis.
Sejalan dengan model demokrasi konsosiasional, David Held (2000) pun mengajukan model demokrasi kosmopolitan yang diyakini bisa mengatasi kebuntuan demokrasi liberal. Model demokrasi kosmopolitan lahir sebagai respon terhadap tantangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang semakin plural bahkan tidak lagi mengenai batas-batas teritorial suatu negara. Sistem kekuasaan dipandang menyerupai suatu jejaring (network) yang saling terkait antarberbagai kelompok masyarakat dan bangsa. Jejaring kekuasaan ini mencakup seluruh institusi kekuasaan, baik di level suprastruktur maupun infrastruktur, institusi ekonomi, masyarakat sipil, dll. Demokrasi ini mengakui perbedaan-perbedaan kultural yang ada sebagai suatu kesetaraan, sehingga setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan sebaliknya secara bebas terlibat dalam membuatkan kehidupan kultural masing-masing. Dalam perspektif demokrasi kosmopolitan, budaya merupakan sumberdaya yang perlu menjadi contoh dalam pengambilan kebijakan.
Pada praktiknya, model demokrasi kosmopolitan menganut sejumlah prinsip yang sanggup diadopsi dalam perumusan kebijakan. Prinsip-prinsip tersebut ialah :
1) Kapasitas untuk memilih pilihan secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri
Prinsip ini mengakui bahwa semua kelompok masyarakat (termasuk juga kelompok etnik) mempunyai kapasitas untuk memilih pilihan secara mandiri. Prinsip ini mengharuskan adanya komitmen terhadap otonomi dan akreditasi hak-hak dan kewajiban untuk menegakan aturan sebagai aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
2) Adopsi terhadap prinsip-prinsip dan aturan main menurut aturan yang berlaku
Hukum menjadi prosedur untuk membatasi bentuk dan ruang lingkup tindakan individual maupun kolektif dalam banyak sekali institusi, baik pemerintah, pelaku usaha, maupun civil society. Untuk menjamin penegakan hukum, maka sejumlah standar pun ditetapkan supaya ada kesetaraan bagi semua anggota masyarakat, sehingga jalan kekerasan untuk mencapai tujuan tidak dibenarkan.
3) Perumusan peraturan dan penegakan hukum
Prinsip ini berlaku bagi setiap level institusi dan seluruh anggota masyarakat, sehingga bersifat non diskriminatif. Prinsip ini juga berlaku sebagai bentuk pengawasan dan pengendalian terhadap banyak sekali praktik penggunaan kekuasaan dan otoritas forum pemerintahan.
4) Prioritas kolektif
Prinsip ini mendasari perumusan kebijakan supaya setiap kebijakan yang dihasilkan dilandaskan pada skala prioritas yang mengacu pada kepentingan publik, yakni kepentingan sebagian besar kelompok masyarakat (bukan hanya kepentingan kelompok mayoritas). Penyusunan skala prioritas dalam agenda setting kebijakan publik perlu memperhatikan komitmen terhadap otonomi demokrasi sebagai landasan bagi keberlangsungan demokratisasi.
5) Prinsip keadilan sosial
Prinsip mendasari pembuatan kebijakan sebagai prosedur untuk menjamin distribusi sumberdaya-sumberdaya secara adil, menghindarkan eksploitasi sumberdaya untuk kepentingan sesaat atau kepentingan segelintir orang.
6) Prinsip korelasi non koersif
Demokrasi kosmopolitan menekankan penyelesaian konflik melalui administrasi konflik dan prosedur resolusi yang berbasis governance, dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan. Penggunaan paksaan hanya diperkenankan sehabis seluruh prosedur perundingan tidak sanggup dilakukan lagi. Namun, kekuasaan ini pun tetap diterapkan oleh institusi yang mempunyai kewenangan legal untuk melaksanakan paksaan dan menjatuhkan sanksi.
7) Keanggotaan lintas budaya
Melalui prinsip ini, demokrasi kosmopolitan menunjukkan peluang bagi setiap anggota masyarakat yang berbeda-beda sanggup saling berinteraksi bahkan sanggup menjadi anggota dari banyak sekali organisasi yang beragam, tanpa memandang asal etnisitas, ras, agama, atau ideologinya. Keanggotaan organisasi kemasyarakatan bersifat terbuka, sehingga sanggup memperluas kanal partisipasi publik.
Ketujuh prinsip tersebut menegaskan bahwa multikulturalisme dan demokrasi menjadi dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dalam merumuskan suatu desain kebijakan publik yang mengakui kesederajatan banyak sekali budaya. Demokrasi mustahil hidup dalam sebuah masyarakat kalau demokrasi tidak diserap ke dalam dan menjadi kebudayaan serta pranata-pranata sosial dari masyarakat tersebut. Begitu pula halnya demokrasi mustahil hidup kalau tidak didukung nilai-nilai budaya yang merupakan patokan bagi pedoman etika dan moral, baik secara sosial, legal, ekonomi dan politik yang berlaku pada tingkat individual maupun pada tingkat kemasyarakatan.
Prinsip demokrasi hanya mungkin sanggup berkembang dan hidup secara mantap dalam sebuah masyarakat sipil yang terbuka, yaitu yang warganya mempunyai toleransi terhadap perbedan-perbedaan dalam bentuk apa pun. Adanya kesetaraan dalam derajat kemanusiaan yang saling menghormati, yang diatur oleh aturan yang berkeadilan dan beradab yang mendorong kemajuan dan menjamin kesejahteraan hidup warganya. Di antara prinsip-prinsip fundamental dari demokrasi ialah kesetaraan derajat individu dengan meniadakan hierarki sosial menurut atas rasial, suku bangsa, kebangsaan, ataupun kekayaan dan kekuasaan. Kemudian adanya kebebasan (freedom), individualisme dan individualitas, toleransi terhadap perbedaan-perbedaan, konflik-konflik, dan adanya konsensus dalam proses politik; aturan yang adil dan beradab, dan prikemanusiaan.
Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam banyak sekali interaksi yang ada dalam banyak sekali struktur aktivitas kehidupan manusia. Berbagai aktivitas dalam cakupan kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan pilitik, dan banyak sekali aktivitas lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Karenanya, multikulturalisme sanggup menjadi suatu seni administrasi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga sanggup difungsikan secara efektif dalam mengantisipasi setiap gosip yang mengarah pada konflik sosial, separatisme, dan disintegrasi sosial.
BAB III
PENUTUP
Komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri masyarakat Jawa Barat sampaumur ini tidaklah berarti terjadinya ketercerabutan dari akar budaya lokal (Sunda) alasannya pada dikala yang sama bekerjsama juga terdapat simbol-simbol, nilai-nilai, struktur-struktur, dan lembaga-lembaga dalam kehidupan bersama yang mengikat banyak sekali keragaman tersebut. Dalam aksara masyarakat yang mengarah pada kosmopolitanisme, multikulturalisme mengakibatkan pola interaksi dan identifikasi diri menjadi bersifat multi sehingga seseorang tidak hanya merasa diri sebagai orang Sunda alasannya beliau dilahirkan dari orang bau tanah beretnis Sunda, tapi lebih dari itu, seorang yang bukan etnis Sunda tapi lahir di Bandung pun bisa merasa dirinya sebagai serpihan dari masyarakat Sunda.
Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanungalan atau ketunggalan yang paling potensial akan melahirkan persatuan berpengaruh dan kemajuan suatu masyarakat, tetapi akreditasi adanya pluralitas budaya inilah yang lebih menjamin tercapainya visi dan misi Jawa Barat menuju pembaruan sosial yang demokratis. Di samping itu, yang perlu kita jadikan standar secara kolektif dalam suatu komunitas sosial kehidupan bermasyarakat adanya “keajekan sosial” (social consistency) yang sama-sama kita miliki. “Keajekan sosial” tersebut berupa sistem nilai sosial, menyerupai etika yang harus kita sepakati dan taati secara gotong royong oleh suatu masyarakat yang multikultural. Hal demikian akan memungkinkan realitas sosial yang multikultural tidak akan gampang terjebak dalam sebuah konflik-konflik komunal yang merugikan semua pihak. Dengan semangat multikulturalisme, perbedaan hendaknya dipahami sebagai aset dan bukan sebagai pemicu konflik, apalagi dimanipulasi sebagai alat pertarungan kekuasaan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang multikultural hendaknya sanggup dimanfaatkan sebagai faktor pendorong bagi munculnya kreativitas dan penemuan yang pada gilirannya akan mendukung percepatan pencapaian visi dan misi dari bangsa Indonesia sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
harus di isi/search?q=multikulturalisme-dalam-perumusan http://pustakawan.pnri.go.id/uploads/media/5/PERPUSTAKAANDANPENDIDIKANMULTIKULTURALISME.doc.
http://rusnaini.staff.fkip.uns.ac.id/files/2009/02/pokok-bahasan-1.pdf
Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043
Semoga bermanfaat
follow: @ardimoviz
