Skip to main content

Rekrutmen Politik Pada Pemilu Legislatif 2009

Tugas Individu
“REKRUTMEN POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi kiprah mata kuliah Sosiologi Politik

Disusun oleh :
Ardi Widayanto
07401241043


PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009

BAB I
PENDAHULUAN
Tahun 2009 sanggup dipastikan menjadi hari-hari sibuk bagi partai politik. Penyelenggaraan Pemilu 2009 merupakan momentum penting bagi partai politik memperlihatkan eksisitensinya. Bagi partai politik, Pemilu 2009 mempunyai arti strategis sekaligus krusial. Strategis dalam arti, jikalau pemilu sanggup dilaksanakan dengan baik dalam kualitas demokrasi yang memadai, jalan menuju demokrasi akan semakin mulus. Namun, jikalau Pemilu 2009 tidak memperlihatkan kualitas yang memadai, demokrasi itu sedang memasuki titik krusial.
Pemilu 2009 merupakan momen untuk mengukur apakah nilai-nilai subtantif demokrasi telah masuk pada tahap pelembagaan politik atau masih terus larut dalam euforia liberalisasi politik. Dalam konteks ini, sanggup diartikan bahwa penyelenggaraan pemilu tidak hanya dinilai dari tahap pelaksanaan sempurna waktu, jujur, adil, dan partisipatif. Akan tetapi, sanggup pula dilihat secara kualitas pada proses dan capaiannya. Kualitas proses yakni apakah pemilu telah disadari oleh seluruh komponen bangsa sebagai wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Sedangkan pada kualitas capaian adalah, apakah hasil dari pemilu tersebut telah menggambarkan kehendak rasional masyarakat.
Oleh lantaran itu, partai politik merupakan tempat yang paling sempurna untuk proses rekrutmen politik, dalam rangka mengorganisasi kekuasaan secara demokratis. Rekrutmen merupakan arena untuk membangun kaderisasi, regenerasi, dan seleksi para kandidat, serta membangun legitimasi dan kekerabatan antara partai dengan masyarakat sipil. Selama ini ada argumen bahwa rekrutmen politik merupakan sebuah proses awal yang akan sangat memilih kinerja DPR (legislatif). Jika kini kapasitas dan legitimasi DPRD sangat lemah, salah satu penyebabnya yakni proses rekrutmen yang buruk.
Dalam konteks ini muncul pertanyaan, mengapa hasil rekrutmen DPR (DPR/DPRD) masa kemudian itu dianggap gagal? Pokok persoalannya tentu ada pada partai politik itu sendiri, ketika melaksanakan rekrutmen politik. Partai politik berperan sebagai biro yang menyediakan dan mempersiapkan calon-calon politisi yang akan duduk di dingklik parlemen. Semua itu, tentunya akan bergantung pada rekrutmen politik yang dipengaruhi sistem kepartaian dan sistem pemilu yang dikembangkan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik  memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini memilih orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh lantaran itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik tergantung pada kualitas rekrutmen  politik.
Rekrutmen politik yakni proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan manajemen atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan  kekuasaan politik (Suharno, 2004: 117). Ada dua macam prosedur rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrtmen terbuka, semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu(seperti kemempuan, kecakapan, umur, keadaan fisik, dsb) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara/pemerintah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenangnya.  Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya wacana keadaan masyarakat atau yang di kenal  sebagai platform politiknya serta nilai moral yang menempel dalam ddirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup , kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri (Suharno, 2004: 117).

B.     Permasalahan dalam Rekrutmen Politik
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah tanda-tanda yang tidak aman bagi proses membangun demokrasi. Pertama, sistem pemilihan umum proporsional telah mengabadikan dominasi oligarki dalam proses rekrutmen. Elite partai di tempat sangat berkuasa penuh terhadap proses rekrutmen, yang memilih siapa yang bakal menduduki “nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki “nomor sepatu”. Bagaimanapun teladan oligarki elite itu tidak demokratis, melainkan cenderung memelihara praktik-praktik KKN yang sangat tertutup. Pola tidak menghasilkan DPR yang representatif dan mandatori, melainkan DPR bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.
Kedua, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya lantaran beliau hanya “mewakili” tempat administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa masyarakat hanya sanggup “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak sanggup memberikan voice untuk mensugesti kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon, lantaran hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses obrolan yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak sosial dimana masyarakat sanggup memperlihatkan mandat kepada partai. Masyarakat hanya memperlihatkan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai sanggup mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu.
Ketiga, dalam proses rekrutmen tidak dibangun kekerabatan (linkage) yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis usaha politik partai. Sebaliknya, pihak pelopor organisasi masyarakat tidak memandang partai politik sebagai belahan dari gerakan sosial (social movement) untuk mensugesti kebijakan dan mengontrol negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan. Akibatnya, para anggota DPR hanya berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi usaha politik yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat. Bahkan ketika berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis pinjaman massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota DPRD yang mengabaikan lembaga atau partisipasi ekstraparlementer, lantaran mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Keempat, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan lantaran mempunyai visi-misi, melainkan lantaran mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot lantaran mempunyai duit banyak yang sanggup dipakai secara efektif untuk dana mobilisasi hingga money politics. Para selebritis diambil lantaran mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil lantaran mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara simpel (dengan iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin menjadikan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, alasannya dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara ketika undang-undang mewajibkan kuota 30% dingklik untuk kaum perempuan.
Kelima, proses kampanye (sebagai belahan dari prosedur rekrutmen) tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, obrolan yang terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya sebagai ajang show of force,banter-banteran knalpot, dan obral janji. Bagi para pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan verbal identitas yang kurang beradab. Mereka sanggup memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, mendapatkan sembako atau sekadar uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk memberikan mandat dari masyarakat.
Keenam, proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan dengan praktik-praktik mobilisasi. Sekarang, meski ada kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai politik tidak memainkan kiprah yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Sampai kini sebagian besar rakyat Indonesia yakni silent majority, yang tenang, apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi menyerupai ini tentu saja tidakmemungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.
C.    Rekrutmen Politik Pada Pemilu Legislatif 2009
Salah satu proses politik yang penting bagi partai politik menjelang pemilu tahun 2009 yakni rekruitmen politik.  Proses ini sangat memilih bagi kelangsungan kegiatan partai politik dan kualitas demokrasi.  Betapa tidak,  penetapan calon anggota legislatif yang duduk di dingklik DPR ditentukan oleh jumlah bunyi pinjaman yang diperolehnya.  Paling tidak dengan 30 persen bunyi pinjaman riil dalam pemilu sanggup mengantar seorang calon duduk menjadi wakil rakyat, meskipun dalam daftar calon legislatif nomor urutnya termasuk nomor besar.  Ini bermakna kualitas calon anggota legislatif sangat memilih perolehan bunyi partai politik dalam pemilu mendatang.
Melihat keadaan ini sanggup dipahami proses rekrutmen yang dilakukan partai politik menjadi titik permulaan yang harus dilakukan partai politik terutama dalam proses pengkaderan anggotanya maupun promosi elite politik baru.  Namun bagi sebagian besar partai politik di negeri ini masalah tersebut tidaklah begitu diambil peduli.  Kebanyakan partai politik hanya berorientasi bagaimana menerima kekuasaan secara cepat dengan biaya murah sehingga mengabaikan rekrutmen politik ini. Rekrutmen politik yakni sebagai fungsi mengambil individu dalam masyarakat untuk dididik, dilatih sehingga mempunyai keahlian dan kiprah khusus dalam sistem politik.  Dharapkan dari proses rekrutmen ini individu yang dididik dan dilatih tersebut mempunyai pengetahuan, nilai, cita-cita dan kepedulian politik yang mempunyai kegunaan bagi konsolidasi demokrasi.
Sebenarnya rekrutmen politik ini sudah menjadi belahan tidak terpisahkan dari aktifitas partai politik di manapun berada.  Sayangnya di Indonesia, fungsi ini gres sanggup berjalan ketika pemilu akan diadakan. Lemahnya fungsi rekrutmen politik ini bahwasanya sudah sanggup dijumpai terutama semenjak verifikasi partai politik dilakukan oleh KPU.  Seandainya proses verifikasi keanggotaan partai politik di tingkat akar rumput dilakukan lebih cermat oleh KPU, maka sanggup dilihat bagaimana potret partai politik kita yang sebenarnya.
Seperti diketahui dalam UU pemilu disebutkan partai politik yang menjadi akseptor pemilu harus mempunyai keanggotaan yang terang di daerah.  Verifikasi keanggotaan ini merupakan cara untuk menunjukan bahwa partai politik itu memang menerima pinjaman masyarakat.  Makara keberadaan partai politik itu, memang diharapkan paling tidak oleh anggotanya.  Untuk mengetahui pinjaman masyarakat ini, UU mensyaratkan bahwa pinjaman itu harus dibuktikan dengan KTP atau kartu identitas lainnya.  Jika partai tersebut tidak sanggup memperlihatkan identitas anggotaannya dalam jumlah tertentu, maka partai tersebut belum layak disebut sebagai partai politik.  Namun dalam kenyataannya, keanggotaan partai politik menyerupai kepemilikan terhadap kartu tanda penduduk sebagaimana disyaratkan UU kebanyakan diperoleh dengan cara “dibeli” dengan sejumlah uang.
Bagi masyarakat apa yang dilakukan ini bukanlah suatu kesalahan lantaran mereka memang tidak mengetahui konsekuensi dari tindakannya ini.  Ini lantaran masyarakat memang belum memperoleh pendidikan politik yang maksimal berkaitan dengan kiprahnya sebagai pemeran politik.  Akibatnya tidak jarang seseorang sanggup mempunyai dua atau tiga kartu keanggotaan partai politik lantaran keberhasilannya menjual KTP kepada partai politik.  Ironinya partai politik pun dengan percaya diri mengklaim bahwa mereka telah didukung oleh masyarakat dan menuntut haknya supaya sanggup berkompetisi dalam pemilu.
Jumlah partai politik (parpol) akseptor Pemilu 2009 jauh dari yang diinginkan publik. Bukannya berkurang, tapi malah bertambah. Ada 38 parpol akan bersaing secara nasional, sementara di Nanggroe Aceh Darussalam ditambah dengan enam partai lokal sesuai Undang-undang (UU) No 11/2006.
Jumlah parpol yang melimpah itu menjadikan orang beramai-ramai jadi calon anggota legislatif (caleg). Tak peduli apakah sebelumnya mereka paham wacana kerja parpol dan kerja anggota legislatif. Mulai dari guru besar di universitas, pengacara, kalangan profesional, (pensiunan) pegawai negeri sipil atau anggota militer, pemain sinetron, ibu rumah tangga, hingga pengangguran dan preman di jalanan, mereka beramai-ramai menjadi caleg.
Pemilu Legislatif 2009 sekaligus sebagai ujian terhadap faktor kehati-hatian Parpol dalam melaksanakan rekrutmen Caleg. Banyak Parpol yang kaget terhadap perubahan di tengah jalan sistem Pemilu Legislatif 2009 terkait penentuan Caleg yang berhak duduk pada lembaga perwakilan menurut perolehan suata terbanyak. Selama ini Parpol terkesan asal pasang saja seseorang pada daftar Caleg dengan menempatkan "orang khusus" pada nomor urut jadi. Parpol yang banyak memasukan anak pejabat pemerintahan atau pengurus partai dalam daftar Caleg, sanggup saja menjadi bumerang pada Pemilu mendatang. Namun sanggup dipahami wacana rasa terhadap para pengurus Parpol yang puluhan tahun mengabdi kemudian diberikan penghargaan sebagai caleg, selain menghindari terjadi konflik internal partai.
Dr Dede Mariana, dosen Fisip Unpad Bandung, menilai iklim politik di Indonesia dikala ini menyerupai sedang memasuki zaman neo-promodialisme, contohnya sarat tema kesukuan, ikatan almamater, dan sumber daya yang sanggup menguntungkan. Hal ini sanggup membuat seperti hanya yang bermodal besar dan latar belakang keluarga politik saja yang sanggup tampil di kancah politik. Padahal dengan demokrasi itu kita ingin membuat siapapun boleh terbuka lebar untuk berkarir di politik tanpa harus terdiskriminasi oleh latar belakang keluarga dan lain-lain. Seharusnya Indonesia harus membenahi Konstitusi terlebih dahulu. Jangan hingga ada calon-calon yang hebat (calon independen) tetapi terdiskriminasi oleh konstitusi.
Banyak orang mendadak jadi politisi, pribadi jadi caleg. Hal ini tak lepas dari banyaknya parpol yang muncul bukan lantaran didesain secara matang, tetapi lebih banyak lantaran reaksi ketidakpuasan terhadap partai yang lebih dahulu ada. Partai Hanura dan Partai Gerindra misalnya, merupakan dua parpol yang didirikan sejumlah pihak yang tidak menerima ruang untuk berkreasi di Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) merupakan hasil pacahan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Partai Matahari Bangsa hasil sempalan PAN; demikian juga Partai Kedaulatan Nahdlatul Umat (PKNU) yang merupakan pecahan PKB; serta Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang muncul lantaran ketidakpuasan terhadap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ideologi Mirip
Hampir semua partai yang lahir di era reformasi mempunyai sejarah kelahiran yang mirip, ketidakpuasan. Ketidakpuasan itu juga bukan masalah ideologi atau garis usaha partai tetapi lebih banyak lantaran secara internal tidak menerima kesempatan untuk berkuasa. Misalnya, adanya kekalahan dalam proses pemilihan ketua umum partai atau tidak diberi ruang untuk mengajukan diri sebagai calon presiden.
Semua partai gres dideklarasikan dulu beberapa orang yang menganggap diri sebagai tokoh yang populer, gres kemudian mencari anggota untuk menghadapi pemilu terdekat. Hebatnya, sehabis dideklarasikan pribadi siap menghadapi pemilu. Sangat jarang atau bahkan tidak ada yang membangun struktur hingga ke seluruh pelosok terlebih dahulu gres mendeklarasikan diri sebagai parpol yang siap menghadapi pemilu. Akibatnya, menjelang pemilu siapa saja sanggup dijadikan caleg sehabis menerima kartu tanda anggota (KTA). Dengan cara demikian pun, cukup banyak parpol yang kesulitan mengajukan caleg.
Motivasi orang menjadi caleg pun sangat bervariasi. Mulai dari mencari pekerjaan, meningkatkan status sosial, prestise, ditawari parpol tertentu, mengikuti tren atau ikut-ikutan, dan juga yang serius berkarya di bidang politik. Paling tidak, ada 11.600 orang akan bersaing memperebutkan 570 dingklik DPR dalam pemilu 9 April 2009 nanti. Sekitar 112.000 orang bersaing memperbutkan dingklik DPRD Provinsi dan lebih dari 1,5 juta orang memperebutkan dingklik DPRD Kabupaten/Kota dengan banyak sekali macam motivasi.
Padahal, kerja sebagai wakil rakyat sangat memilih semua aspek kehidupan bernegara. Itu bukan pekerjaan yang gampang. Kualitas demokrasi lebih banyak ditentukan sejauh mana kualitas kerja wakil rakyatnya. Motivasi, keseriusan, dan kompetensi anggota dewan akan turut kuat pada produk undang-undang yang dihasilkannya.
Tak Terukur
Pengamat politik Arbi Sanit mengatakan, rekrutmen anggota parpol yang tidak terang menjadikan anggota legislatif yang dihasilkan menyusun undang-undang dengan “kaca mata kuda”.
Banyak produk undang-undang yang tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Bahkan sejumlah UU yang disahkan DPR belakangan ini selalu digugat masyarakat ke Mahkamah Konsitusi (MK). Banyak orang menjadi anggota dewan lantaran menganggap pekerjaan tersebut bergelimang uang.
Sejauh ini, tidak ada parpol yang mempunyai teladan pengkaderan yang terukur untuk memilih daftar caleg. Semua parpol hanya ingin cepat berkuasa dengan meraih pinjaman tetapi hanya jangka pendek. Tidak ada parpol yang secara serius melaksanakan pengkaderan untuk membuat pemimpin jangka panjang, padahal pengkaderan merupakan prasyarat dan kiprah utama partai politik sebagai tempat membuat pemimpin baru. Banyak partai gres mengandalkan popularitas figur tertentu untuk mendulang bunyi dalam pemilu, bukan lantaran kerja infrastruktur partai.
Dengan teladan rekrutmen anggota parpol yang kemudian menjadi caleg menyerupai ini, sangat sulit membayangkan wakil rakyat periode mendatang sanggup lebih baik. Bisa saja ini dijadikan risiko sistem multipartai, tetapi juga belahan dari proses demokrasi Pancasila.


BAB III
PENUTUP
Rekrutmen politik yang baik seharusnya dimulai dengan pendidikan politik yang dilakukan secara berkesinambungan oleh partai politik. Namun banyak partai politik tidak melakukannya lantaran banyak sekali kendala. Misalnya masalah keuangan yang memang menjadi masalah besar dalam perkembangan partai politik di Indonesia.  Selain itu, tidak jelasnya ideologi partai politik berdampak pula pada visi, misi dan acara yang partai politik tersebut.  Sukar dinafikan partai politik di Indonesia belum mempunyai tanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya berpolitik. Bahkan partai politik tidak sanggup melaksanakan rencana stategisnya menyerupai rekrutmen anggota secara berkesinambungan, training kader secara konsisten serta pengembangan kader ke tahap pembentukan elite politik.  Ini semua merupakan bukti belum maksimalnya fungsi partai politik di negeri ini.
Rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat juga sanggup dilihat dari kesulitan partai politik menyusun daftar calon keanggotaan legislatif yang diajukan setiap pemilu.  Tidak berjalannya pendidikan politik berdampak pada kualitas wakil rakyat yang diajukan partai politik.  Paling tidak dari dua pemilu sebelumnya sanggup diambil pelajaran siapa yang dipilih dan bagaimana prosedur mereka dipilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di DPR dan DPRD masih belum jelas.  Kurangnya kader partai dan menguatnya politik kekerabatan berdampak pada proses penentuan calon anggota legislatif ini.  Celakanya, dengan bertambahnya partai politik akseptor pemilu tahun 2009 tentu membawa dampak pada kualitas wakil rakyat yang akan diajukan partai politik.
Sukar dinafikan rendahnya kesadaran partai politik melaksanakan pendidikan politik ini telah mensugesti kualitas demokrasi yang dihasilkan.  Banyaknya konflik dalam Pilkada bahkan disertai dengan tindakan anarkisme yakni bukti masih rendahnya pendidikan politik masyarakat kita.  Bahkan rendahnya kualitas pendidikan politik masyarakat ini sengaja dibiarkan, agar  elite partai simpel memobilisasi pinjaman untuk kepentingannya. Oleh alasannya itu supaya kualitas demokrasi meningkat, maka partai politik harus memberi perhatian serius pada proses rekrutmen politik ini.  Tanpa ada kepedulian partai politik terhadap proses rekrutmen politik, maka demokrasi yang dihasilkan tidak memberi kemanfaatan apa-apa bagi bangsa ini.


DAFTAR PUSTAKA
Suharno, M.Si. 2004. Diklat Kuliah Sosiologi Politik. UNY.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=29740
http://pemilu.antara.co.id/view/?tl=pemilu-2009-ujian-bagi-proses-rekrutmen-caleg-parpol&id=1235288074
harus di isi/search?q=
http://www.ireyogya.org/sutoro/membuat_rekrutmen_legislatif.pdf
http://www.padangekspres.co.id/content/view/7795/80/


Semoga bermanfaat :)

Follow twitter me: @ardimoviz
Facebook:  Ardi Widayanto

Popular posts from this blog

Rencana-Rencana Atau Het Plan

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia yaitu suatu organisasi yang mempunyai tujuan. Tujuan negara Indonesia tersebut termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyiratkan bahwa negara Indonesia yaitu negara h u kum yang menganut welfare state . Sebagai suatu negara h u kum yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya, setiap kegiatan pemerintah di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus menjadikan h u kum yang berlaku sebagai aturan dan pola dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh lantaran itu aturan harus menjadi pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang merupakan bab dari organisasi negara menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan negara dengan mengacu pada aturan manajemen negara sebagai aturan acara pemerintahan dan memfungsikannya sebagai pengarah pencapaian tujuan yang sebelumnya telah ...

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Perihal Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang perihal Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang dipakai ialah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir dipakai kini ialah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965. Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ” Dari ketentuan pasal tersebut sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut: Wilayah Indonesia dibagi ke ...

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013  Jersey Home  Jersey Away Sumber foto: inter.it