Aliran-Aliran Pemikiran dalam kriminologi
Yang dimaksud dengan anutan pemikiran disini yaitu cara pandang (kerangka acuan, paradigma, perspektif) yang dipakai oleh para kriminolog dalam melihat, menafsirkan, menanggapi dan menjelaskan fenomena kejahatan.
Oleh lantaran pemahaman kita terhadap dunia sosial terutama dipengaruhi oleh cara kita menafsirkan peristiwa-peristiwa yang kita alami/lihat, sehingga juga para ilmuwan cara pandang yang dianutnya akan menghipnotis wujud klarifikasi maupun teori yang dihasilkannya. Dengan demikian untuk sanggup memahami dengan baik klarifikasi dan teori-teori kriminologi, perlu diketahui perbedaan-perbedaan anutan pemikiran/paradigma dalam kriminologi.
Teori yaitu potongan dari suatu klarifikasi mengenai "sesuatu". Sementara suatu klarifikasi dipandang sebgai masuk kebijaksanaan akan dipengaruhi oleh fenomena tertentu yang dipersoalkan di dalam keseluruhan bidang pengetahuan. Adapun keseluruhan bidang pengetahuan tersebut merupakan latar belakang budaya kontemporer yang berupa dunia informasi, hal-hal yang dipercaya (beliefs) dan sikap-sikap yang membangun iklim intelektual dari setiap orang pada suatu waktu dan daerah tertentu.
Di dalam sejarah intelektual, terhadap masalah "penjelasan" ini secara umum sanggup dibedakan dua cara pendekatan yang mendasar yakni pendekatan spiritistik atau demonologik dan pendekatan naturalistik, yang kedua-duanya merupakan pendekatan yang dikenal pada masa kuno maupun modern.
Penjelasan demonologik mendasarkan pada adanya kekuasaan lain atau spirit (roh). Unsur utama dalam klarifikasi spiritistik yaitu sifatnya yang melampaui dunia empirik; beliau tidak terikat oleh batasan-batasan kebendaan atau fisik, dan beroperasi dalam cara-cara yang bukan menjadi subyek dari kontrol atau pengetahuan insan yang bersifat terbatas. Oleh lantaran spirit (roh) itu sendiri tidak tidak sanggup dijelaskan dan tidak sanggup dimengerti, sehingga ini merupakan cara klarifikasi dan tidak sanggup dimengerti, sehingga mempakan cara klarifikasi yang paling tepat bagi semua fenomena yang sulit dimengerti. Dasar penjelasannya sama, baik bagi yang kuno maupun modern, yaitu adanya kekuasaan yang lain. Pada pendekatan naturalistik, klarifikasi yang diberikan lebih terinci dan bersifat khusus, serta melihatnya dari segi obyek dan kejadian-kejadian dunia kebendaan dan fisik. Apabila klarifikasi demonologik memakai dasar kekuatan dunia lain untuk menjelaskan apayang terjadi, maka klarifikasi naturalistik memakai ide-ide dan penafsiran terhadap obyek-obyek dan kejadian-kejadian serta hubungannya dengan dunia yang ada. Dengan demikian penjelasannya berada pada apayang diketahui atau dianggap benar berdasarkan fakta fisik atau empirik dan dunia kebendaan. Pendekatan naturalistik inipun dikenal baik pada pada yang kuno maupun modern
Secara garis besarnya, pendekatan naturalistik sanggup dibedakan dalam tiga bentuk sistem pemikiran atau anutan pemikiran atau sanggup juga disebut paradigma, yang dipakai sebagai dasar kerangka pemikiran teori dan penelitian dalam memperlihatkan klarifikasi mengenai fenomena kejahatan. Perbedaan diantara ketiga alira ini begitu mendasar, sehingga batasan dan istilah kejahatan dan penjahat bagi kriminologi tertentu tergantung dari anutan pemikiran ini juga sangat kuat pada cara pendekatan atau cara-cara yang ditempuh dalam mempelajari kejahatan dan konsepnya mengenai kiprah yang diemban kriminologi. Adapun ketiga anutan pemikiran ini yaitu anutan pemikiran klasik, positive dan kritis.
(1). Kriminologi Klasik
Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri mendasar insan dan menjadi dasar bagi klarifikasi sikap manusia, baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Intelegensi menciptakan insan bisa mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti beliau yaitu penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang bisa memahami dirinya dan berindak untuk mencapai kepentingan dan kehendaknya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua pemikiran klasik menyerupai dalam filsafat, pesikologi, politik, aturan dan ekonomi. dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibuat sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Kunci kemajuan berdasarkan pemikiran ini yaitu kemampuan kecerdasan atau kebijaksanaan yang sanggup ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga insan bisa mengontrol dirinya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Di dalam kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilfliat dari semata - mata dari batasan undang-undang.
Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap perbuatan yang dihentikan undang-undang pidana, penjahat yaitu setiap orang yang melaksanakan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam menilai untung ruginya melaksanakan kejahatan. Oleh lantaran itu secara rasional jawaban yang diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini yaitu dengan meningkatkan kerugian yang harus dibayar dan menurunkan laba yang diperoleh dari kejahatan supaya orang-orang tidak menentukan untuk melaksanakan kejahatan. Dalam kekerabatan ini maka kiprah kriminologi yaitu untuk menciptakan pola dan menguji sistem eksekusi yang sanggup meminimalkan terjadinya kejahatan.
Dengan demikian mengarahkan pada masalah penjeraan, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat studi empirik dalam mengukur seberapa jauh perbedaan dalam isi undang-undang atau pelaksanaan eksekusi menghipnotis terjadinya kejahatan. Termasuk dalam lingkup ini yaitu penologi. Dalam leteratur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo klasik) maupun positive dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat populer yang dihubungkan dengan mashab klasik yaitu Cesare Beccaria (1738 --1794).
(2). Kriminologi Positive
Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa sikap insan ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang bempa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa insan bukan mahkluk yang bebas untuk menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi mahkluk yang dibatasi atau ditentukan perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Manusia berkembang bukan semata-mata kerena intelegensinya, akan tetapi melalui proses yang berjalan secara perlahan-lahan dari aspek biologiknya atau evolusi kultural. Aliran pemikiran positive ini menghasilkan dua pandangan yang berbeda yaitu determinis biologik yang menganggap bahwa organisasi sosial berkembang sebagai hasil individu dan perilakunya dipahami dan sebagai pencerminan umum dan warisan biologik. Sebaliknya determinis kultural menganggap perlikau insan dalam segala aspeknya selalu berkaitan dan mencerminkan ciri-ciri dunia sosio kultural secara relatif tidak tergantung pada dunia biologik, dalam arti perubahan pada yang satu tidak berarti sesuai atau segera menghasilkan perubahan pada lainnya. Perubahan kultural diterima sebagai sesuai dengan bekerjanya ciri-ciri istimewa atau khusus dari fenomena kultural daripada sebagai akhir dari keterbatasan-keterbatasan biologik semata. Dengan demikian biologi bukan penghasil kultur, begitu juga klarifikasi biologik tidak mendasari fenomena kultural.
Itu yaitu pandangan dari pemikiran positivis yang dikenal dalam filsafat, sosiologi, sejarah, dan ilmu pengetahuan alampada umumnya, positivis menolak klarifikasi yang berorientasi pada nilai, dan mengarahkan pada aspek-aspek yang sanggup diukur dari pokok persoalannya dalam usaha mencari kekerabatan alasannya yaitu akibat. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, kiprah kriminolog yaitu menganalisis sebab-sebab sikap kejahatan melalui studi ilmiah terhadap ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial, dan kultural. Oleh lantaran kriminologi positivis dalam bekerjanya menghadapi kesulitan dalam memakai batasan undang-undang, alasannya yaitu undang-undang seringkali membedakan perbuatan legal dan ilegal atas dasar batas-batas yang sangat tajam (‘teknis') yang tidak ada hubungannya dengan inspirasi sebab-sebab, sehingga cenderung memperlihatkan banyak sekali "batasan ilmuah" terhadap kejahatan, yang lebih diarahkan pada sikap ciri-ciri sikap itu sendiri daripada sikap yang didefinisikan oleh undang-undang pidana. Misalnya Mannheim membela pandangan bahwa kriminologi harus mempelajari seluruh perbuatan anti sosial, baik undang-undang dinyatakan sebagai kejahatan maupun tidak. Sementara Sutherland dalam studinya terhadap kejahatan white-collar menganggap kejahatan sebagai perbuatan yang merugikan masyarakat, baik yang diatur dalam undang-undang pidana maupun perdata, manajemen dan yang lainnya. Sedangkan Schwendingers memandang kejahatan sebagai pelanggan terhadap hak-hak asasi manusia
Cesare Lombroso (1835-1909) sanggup dipandang sebagai aktivis anutan ini yang memulai studinya dengan mencari sebab-sebab kejahatan yang lebfli menekankan pada sifat dasar pelaku kejahatan daripada terhadap ciri-ciri perbuatan jahat.
Disamping itu anutan positivis sanggup dipandang sebagai yang pertamakali dalam bidang kriminologi yang memformulasikan dan memakai cara pandang, metodologi, dan kebijaksanaan dari ilmu pengetahuan alam didalam perbuatan manusia.
Sebagai aktivis mashab positive, Lombroso lebih dikenal dengan teori biologi kriminal, namun perlu dicatat bahwa itu bukan merupakan dasar dari anutan positive. Dasar yang sesungguhnya dari positivisme dalam kriminologi yaitu konsep wacana alasannya yaitu kejahatan yang banyak (multiple factor causation), yakni faktor-faktor yang alami atau yang dibawa insan dan dunianya, yang sebagian bersifat biologik dan sebagian bersifat biologik dan sebagian lantaran imbas lingkungan.
(3). Kriminologi Kritis
Pemikiran kritis yang dikenal dalam banyak sekali disiplin ilmu menyerupai politik, ekonomi, sosiologi dan filsafat, mucul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. anutan pemikiran kritis tidak berusaha menjawab pertanyaan apakah sikap insan itu bebas atau ditentukan, akan tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses insan dalam ( membangun dunianya dimana beliau hidup. Kriminologi kritis contohnya beropini bahwa fenomena kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefinisikan tindakan tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang sanggup diidentifikasikan dan dipelajari secara obyektifoleh ilmuwan sosial, alasannya yaitu beliau ada hanya lantaran hal itu dinyatakan sebagai demikian oleh "masyarakat". Oleh karenanya krimmologi kritis mempelajari proses-proses dimana kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada waktu dan daerah tertentu. kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari sikap dari orang-orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari sikap dari agen-agen kontrol sosial (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagaian besar pelaku kejahatan yaitu orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan "sebab" kejahatan, akan tetapi kerena bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan dan dalam bekerjanya aturan maka undang-undang macam beginilah lebih banyak dijalankan. Ini berarti bahwa kita sanggup memahami kejahatan semata-mata dengan mempelajari penjahat ("resmi"), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi, yakni proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Sehubungan dengan itu, maka kiprah kriminologi kritis yaitu menganalisis proses-proses bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu. Pendekatan kritis ini secara relatif sanggup dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan "konflik". Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan. Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki biro kontrol sosial dan orang-orang yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefiniskan seseorang sebagai penjahat. Dengan demikian untuk sanggup memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi, dalam arti baik proses-proses yang menghipnotis pembentukan undang-undang yakni yang dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang sebagai potongan dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan "berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat, dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan "jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang menghipnotis proteksi batasan itu tidak begitu jelas, sehingga pada kesannya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya wacana batas - batas "godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) menyerupai halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan dan reaksi sosial merupakan kekerabatan timbal balik yang hanya sanggup dipahan-u dalam kekerabatan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada "symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan bahwa "sumber" sikap insan tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi sosial akan tetapijuga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya insan sebagai pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan kejahatan.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda lantaran mempunyai perbedaan kekuasaan dalam menghipnotis perbuatannya dan bekerjanya aturan Secara umum dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik (menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka sanggup mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum sanggup dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan: semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari sikap kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa insan selalu merupakan mahkluk yang "terlibat" dengan kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan potongan dan produk dari kelompok kumpulan - kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan kumpulan kelompok - kelompok yang bersama - sama memikul perubahan, namun bisa menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan - kepentingan dan usaha-usaha dari kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini, serangkaian langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara terus menerus, tindak pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting dari konsep proses sosial. Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds memberi arti penting bagi ciri "perilaku kolektif yang berbeda dengan inspirasi sikap individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapat status atau sebaliknya akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya, disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam kekerabatan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, berdasarkan anutan pemikiran ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana kelangsungan sosial bergantung.
Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut sebagai "kriminologi Marxis" mengenai istilah "Kriminologi Marxis" terdapat beberapa penulis yang menentangnya. Menurut Paul Q. Harist, tidak ada teori Marxis wacana kejahatan baik dalam eksistensinya, maupun yang sanggup dikembangkan dari marxisme yang ortodoks. Uraian mengenai pandangan Hirst mi sanggup dibaca dalam Taylor et. al. (1987). Begitu juga dalam nada yang sama diajukan oleh Denisoff& McQuarie (1975). Di Amerika, Kriminologi Mands dikembangkan dari teori konflik yang antara lain diajukan oleh Quinney, sementara di Inggris berkembang dari perspektif interaksionis yang antara lain sanggup ditemukan pada karya Taylor, Walton & Young (1973 dan 1978).
Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam pembicaraan wacana Kriminologi Marxis, namun perlu dicatat bahwa teori konflik tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jikalau ada anggapan bahwa anutan kritis sama dengan anutan Marxis, perlu dipertanyakan. Teori Kriminologi Mands hanyalah merupakan salah satu usaha "mengembangkan" teori konflik yang juga dipertanyakan kebenaran istilah tersebut sebagaimana disebutkan diatas -disamping terdapat teori non Marxis, yang sangat berbeda. Selain itujuga perlu dicatat bahwa beberapa penulis bahkan mencampur adukkan antara teori konflik yang Marxis dengan yang non Marxis, menyerupai Reid dan Alien. Reid misalnya, menyatakan bahwa teori konflik berdasarkan pada 3 hal: (1) bahwa perbedaan bekerjanya aturan mencerminkan kepentingan rulling class (2) bahwa perbuatan kejahatan akhir dari cara produksi dalam masyarakat, dan (3) bahwa aturan pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan rulling class. Apa yang disebut oleh Raid tersebut yaitu wacana Kriminologi Marxis, bukan teori konflik yang non Mands. Misalnya konsep rulling class tidak dipakai oleh pendukung teori konflik yang non Marxis menyerupai Sellin, Void, Turk.
Secara umum teori konflik non Marxis memperlihatkan kekerabatan kekuasaan yang tidak seimbang mendasari terjadinya kriminalisasi atas perflaku tertentu dibandingkan dengan yang lainnya dan tentu saja sanggup mengarah pada impian untuk mengubah kekerabatan tersebut. Hal ini membawa analisis "obyektif proses kriminalisasi ke arah usaha yang bersifat politis dalam membantu kelompok yang lemah dalam usaha menghadapi kelompok yang sangat kuat. Satu perbedaan yang mendasar antara kriminologi Marxis dengan yang non Marxis yaitu pandangannya apakah kejahatan dianggap sebegai patologis. Pada perspektif konflik yang non Marxis maka kej ahatan dipandang sebagai tindakan yang normal dan orang - orang yang normal yang tidak mempunyai kekuasaan cukup untuk mengontrol proses kriminalisasi, dan dalam perspektif sikap menyimpang, kejahatan dipandang sebagai perwujudan dari kebutuhan masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung kedua perspektif kerenanya menolak inspirasi bahwa kejahatan bersifat patologis dengan mengajukan argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap perbuatan yaitu normal. Sebaliknya bagi kriminologi Mands, beliau kembali pada inspirasi para positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis, yang didasarkan pada konsep Marx bahwa orang yang menjadi "demoralized" dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan yang tidak senonoh apabila dimasyarakat mereka ditolak peranannya sebagai "produktif. Perilaku yang patologis tersebut berupa "batasan alamiah" sebagai "perbuatan" yang merugika masyarakat atau "tindakan - tindakan yang memperkosa hak - hak asasi manusia", dan sanggup mencakup kejahatan - kejahatan lapis bawah, dimana orang - orang miskin merupakan sasarannya diantara mereka sendiri danjuga yang lainnya, maupun kejahatan - kejahatan lapisatas, menyerupai pencemaran, perang dan ekploitasi terhadap pekerja.
Sebab - alasannya yaitu dari sikap yang bersangkutan dianalisis dan ditemukan menempel pada sistem ekonomi kapitalistik dan untuk mengobatinya yaitu melalui pembangunan masyarakat sosialis. Dengan demikian struktur argumentasinya — batasan alamiah wacana kejahatan, mencari alasannya yaitu - alasannya yaitu dan carta pengobatannya- identik dengan positivisme, akan tetapi sangat berbeda dengan perspektif teori konflik yang non Marxis dan teori interaksionis yang menganalisis proses - proses kriminalisasi. Bagi kriminologi Marxis maka "tindakan yang merugikan masyarakat" yang "memperkosa hak -hak asasi manusia" tidak dilihat sebagai normal akan tetapi merupakan produk yang bersifat patologis dari sistem ekonomi yang patologis.
Disamping itu negara - negara komunis menyerupai Uni Sovyet dan Jerman Timur (sebelum awut-awutan lantaran imbas glosnut dan perestroika pada tahun 1980-an) lantaran dipengaruhi oleh kondisi politik dan idelogi marxis yang dianut oleh negaranya, maka perkembangan kriminologinya selalu berorientasi pada kepentingan simpel melalui keputusan - keputusan partai— dan akan tetap menjadi potongan dari aturan pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan aturan pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam melaksanakan aturan pidana dan mencarikan bentuk - bentuk penghukuman dan tindakan yang dipandang efektif. (bandingkan dengan kriminologi klasik dan positive). Sedangkan studi kriminologi yang mempertanyakan kebijaksanaan dan tindakan penguasa menyerupai dalam pembuatan undang-undang maupun pelaksanaannya, dan karenanya juga mempertanyakan proses – proses kriminalisasi, dianggap bertentangan dengan penguasa dan dilarang. Ini berarti bahwa negara - negara komunis tidak dikenal anutan pemikiran kritis maupun konflik dalam kriminologi. Akhimya, perlu dicatat bahwa konflik yang non Marxis yaitu pandangannya sebetulnya di dalam setiap masyarakat, apakah itu masyarakat kapitalis, komunis, fasis, demokratis atau apasaja, selalu terdapat konflik nilai - nilai dan kepentingan - kepentingan diantara potongan - potongan di dalam masyarakat, dan penyelesaian dari kontradiksi dan konflik tersebut akan dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dari kelompok-kelompok yang bertentangan. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, maka cara-cara penyelesaian konflik ini terutama dilakukan melalui hukum, baik melalui pembuatan perundang -undangan maupun melalui bekerjanya hukuman.
