BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu pecahan yang hingga ketika ini masih ramai diperbincangkan dalam ilmu fiqih yaitu fiqih munakahah. Di dalam fiqih munakahah yang sangat marak menjadi materi diskusi di kalangan kita ialah soal poligami. Poligami merupakan problem yang pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan khususnya dan Islam pada umumnya.
Menurut pakar psikologi maupun seksiologi, seorang pria yang memasuki usia 30–40 an mempunyai gairah seks yang meledak-ledak. Umumnya disebut masa puber ke-2 dan punya fasilitas, ia cenderung banyak tingkah. Meskipun tidak semuanya, tetapi kebanyakan mereka yang tergolong sukses, mencoba bermain-main dengan apa yang disebut WIL (wanita idaman lain). Sedangkan bagi yang jujur biasanya merengek - rengek kepada istrinya biar diperbolehkan kawin lagi.
Sebenarnya impian untuk berselingkuh dengan WIL atau terang-terangan ingin kawin lagi bukan semata-mata alasannya ialah dorongan kebutuhan seksual saja. Tetapi juga dipengaruhi oleh suatu kecenderungan biar ia dianggap hebat. Bagi pria “tukang kawin” akan merasa gembira jikalau dirinya dianggap berhasil dalam menghidupi beberapa istrinya yang rukun-rukun saja.
Berpoligami tidak dihentikan dalam Islam. Boleh saja seorang lelaki mempunyai dua atau tiga bahkan empat orang istri. Tetapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi, terutama bersikap adil kepada istri-istrinya. Bersikap adil yang dimaksudkan dalam berpoligami ialah adil dalam segala-galanya. Tak sedikit pria “berlindung” pada alasan bahwa keinginannya berpoligami itu menggandakan cara Nabi Muhammad. Di mana, ketika itu Nabi mempunyai istri lebih dari satu. Lalu ketika niatnya menggebu-gebu ia berjanji pada istri pertama bahwa ia akan berlaku seadil-adilnya kepada istrinya yang kedua atau ketiga.
Terlepas dari pendapat pro dan kontra perihal poligami, yang pasti poligami mjenjadi perkara yang menarik untuk diperbincangkan. Praktik poligami semakin usang semakin menjamur ditengah – tengah masyarakat kita. Dalam praktiknya, masih banyak diantara para pelaku poligmi belum memenuhi ketentuan yang ditetapkan, baik secara aturan negara maupun aturan agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Secara etimologis kata poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu adonan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak ( Nasution, 1996: 84 ).
Sedangkan secara terminologis poligami berarti sistem perkawinan yang salah satu pihak mempunyai atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan ( KBBI, 2001: 885 ).
Jika seorang yang mempunyai pasangan lebih dari satu orang ialah seorang suami, maka perkawinan itu disebut poligini, sedangkan jikalau yang mempunyai pasangan lebih dari satu ialah seorang istri, maka perkawinannya disebut poliandri. Namun dalam kehidupan sehari – hari istilah poligami-lah yang lebih terkenal dan sering menjadi materi perbincangan.
B. Poligami Dalam Sejarah
Fenomen poligami bekerjsama sudah ada sebelum Islam datang. Dulunya orang – orang berpoligami dengan banyak istri, alasannya ialah memang belum ada aturan dan pembatasan jumlah istri dalam berpoligami. Sebelum jadinya datanglah agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yang membatasi poligami hanya dengan empat orang istri saja.
Sebenarnya sebelum Islam dan Rasulullah tiba pun sudah banyak kaum yang melaksanakan poligami termasuk diantaranya nabi-nabi sebelum Rasulullah SAW. Nabi-nabi itu diantaranya ialah Nabi Daud a.s., dan Nabi Sulaiman a.s. Menurut sejarahnya, poligami diperbolehkan sesudah turunnya ayat Q.S.Annisa’ : 3, dan asbabun nuzul ayat ini ialah pasca perang uhud, ketika itu pejuang Islam banyak yang gugur di medan peperangan dan menyebabkan banyak anak yatim, janda-janda. Karena untuk memenuhi sebuah tanggung jawab ketika banyaknya para janda, istri para syuhada yang gugur dalam peperangan membela Islam, sehingga mustahil mereka sanggup terlindungi. Dan sesuai dengan keadaan ini, yakni kekhawatiran tidak terwujudnya keadilan pada bawah umur yatim sesuai dengan yang dimaksud, maka Allah berfirman dalam QS.An-Nisa ayat 3:

Artinya : “Dan jikalau kau takut tidak sanggup berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim ( bilamana kau mengawininya ), maka kawinlah wanita-wanita ( lain ) yang kau senangi. Dua, tiga, dan empat. Kemudian jikalau kau takut berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kau miliki. Yang demikian itu ialah lebih bersahabat kepada tidak berbuat aniaya.”
Menanggapi perkara poligami ini, bnyak aneka macam pendapat yang berkembang. Terutama dikalangan orang Barat ( Eropa dan Amerika Serikat ),yang beropini bahwa sikap poligami hanya akan membuat kontradiksi dan perpecahan antara suami dan istri serta anak – anaknya. Mereka juga beropini bahwa poligami akan mengikis kemuliaan seorang perempuan.
Menurut mereka, perempuan perempuan tidak sanggup merasa mempunyai hak dan kemuliaan, jikalau ia masih merasa bahwa orang lain juga mempunyai hati, cinta, dan kasih sayang suaminya. Seorang istri senantiasa menginginkan biar suaminya menjadi milik satu – atunya, sebagaimana juga suami berhak menjadikan istri satu – satunya tanpa yang lain (‘Itr dalam Marzuki, Poligami dalam Hukum Islam, 2005:28).
C. Pembatasan Poligami Menurut Hukum Negara
Undang-undang memutuskan mekanisme untuk menikahi istri kedua. Seorang laki- laki yang ingin menikahi istri yang kedua harus atau wajib menyerahkan formulir (Aplikasi) kepada ketua pendamai (The Arbitration council), di Indonesia barang kali sama dengan KUA atau PA. Karena itu ketika memakai kata KUA atau PA maksudnya ialah forum yang dimaksud. Didalam formulir tersebut, pria (suami) harus mencantumkan alasan, kenapa menikahi istri kedua (poligami). Demikian juga dalam formulir tersebut harus jelaskan ada tidaknya persetujuan dari istri yang ada. Setelah mendapatkan formulir tersebut kepala KUA harus mendatangkan istri atau istri –istri bersamaan dengan suami yang mengajukan. Pegawai KUA bahu-membahu dengan para pihak memutuskan diterima atau tidaknya permohonan tersebut. Keputusan dari KUA/PA tersebut sanggup naik banding walaupun satu kali.
Protes ini muncul di paruh kurun ke 19, bahwa sesungguhnya maksud Al-Qur’an ialah untuk memutuskan monogami, tetapi praktek poligami boleh di lakukan dalam dan untuk kondisi dan tuntutan tertentu. Adapun syarat dan alasan yang sanggup dijadikan dasar untuk mendapatkan permohonan poligami ibarat yang tercantum dalam Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan memutuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melaksanakan poligami, yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan bawah umur mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan bawah umur mereka (immaterial).
Dan dalam undang-undang no.1 tahun 1974, Bab.IX (Beristri lebih dari satu orang), pasal 55:
1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya hingga empat orang istri.
2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus bisa berlaku adil terhadap istrinya dan anak-anaknya.
3. Apabila syarat utama yang diebut dalam ayat (2) mustahil dipenuhi, suami dihentikan beristri lebih dari seorang.
Pasal: 56:
1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus menerima izin dari pengadilan agama.
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah no.9 Tahun 1975.
3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal: 57:
Pengadilan agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak sanggup menjalankan kewajiban sebagai istri.
b. Istri menerima cacat tubuh atau penyakit yang tidak sanggup disembuhkan.
c. Istri tidak sanggup melahirkan keturunan.
Pasal 58:
Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin peradilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 5 UU no.1 tahun 1974 yaitu:
a. Adanya persetujuan istri.
b. Adanya kepastian bahwa suami bisa menjamin keperluan hidup istri-istri dan bawah umur mereka.
D. Pandangan Islam Tentang Poligami
Dalam Islam, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW, Islam tidak melarang praktik poligami namun juga tidak mewajibkannya. Dalam hal ini Islam memperbolehkan umatnya untuk berpoligami, hanya saja harus tetap berpedoman pada syarat dan ketentuan yang ada. Poligami bisa menjadi haram ketika persyaratan adil tidak sanggup dipenuhi. Dalam al Qur’an Larangan bagi para suami untuk berpoligami yang tidak sanggup bersikap adil, terdapat dalam QS. An - Nisa ayat 129 :

Artinya : “Dan kau tidak akan berlaku adil di antara istri - istrimu walaupun kau sangat ingin berbuat demikian, karna itu janganlah kau cenderung (pada yang kau cintai) sehingga kau biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jikalau kau mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah itu maha penganpun lagi maha penyayang.”
Jika kita telaah ayat diatas, maksud adil disini ialah adil dalam hal kecenderungan hati. Sehingga ayat diatas hanya mempertegas bahwa adil yang bekerjsama tidak akan terpenuhi, maka janganlah kamu berpoligami jikalau nantinya kau akan cenderung kepada salah satu istri saja.
Ketentuan perihal poligami di atas diperbolehkan dengan bersyarat. Ayat ini secara lebih khusus juga merujuk pada keadilan yang harus dilakukan terhadap bawah umur yatim.
Sebagaimana dikatakan Yusuf Ali, bahwa poligami memang merupakan peristiwa yang sudah terjadi sejak dulu, tetapi prinsip - prinsipnya tetap berlaku terus. Dan dalam Islam memerintahkan untuk kawinilah anak yatim bila engkau yakin bahwa dengan cara itu engkau sanggup melindungi kepentingan dan hartanya secara adil terhadap mereka dan terhadap bawah umur yatim itu.
Oleh alasannya ialah itu, para ulama dan fuqaha muslim telah memutuskan persyaratan – persyaratan bila seseorang ingin menikahi lebih dari seorang istri.
1. Dia harus mempunyai kemampuan dan kekayaan cukup untuk membiayai aneka macam kebutuhan denga bertambahnya istri yang dinihainya itu.
2. Dia harus memperlakukan semua istrinya itu dengan adil. Setiap istri diperlakukan secara sama dalam memenuhi hak perkawinan mereka serta hak-hak lainnya. Bila seorang lelaki merasa bahagia beliau tak akan bisa memeperlakukannya mereka dengan adil, atau beliau tidak mempunyai harta untuk membiayai mereka, maka beliau harus menahan dirinya sendiri dengan menikahi hanya seorang istri.
Imam malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha bahwa Ghaylan bin Salmah memeluk Islam sedangkan beliau mempunyai sepuluh orang istri. Maka Rasulullah saw bersabda:
امسك منهن اربعاوفارق سائرهي
Artinya:
“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.
“Peliharalah empat orang di antara mereka dan bebaskalah (ceraikanlah) yang lainnya”.
Beristri lebih dari satu perempuan membuatnya sangat penting bagi si suami biar berlaku seadil mungkin, sebagai yang dimungkinkan orang terhadap setiap istrinya itu. Tujuan utama perkawinan dalam Islam ialah untuk membuat suatu keluarga yang sejahtera dimana suami dan istri atau istri-istrinya, serta anak-anaknya hidup dalam kedamaian, kasih sayang keharmonisan sebagaimana yang dimaksud dalam perintah Al-Qur’an (Q.S 30:21).
Yang artinya “ Di antara gejala kekuasaan-Nya ialah bahwa Dia (Allah) telah menicptakan untukmu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang dan kedamaian. (QS. 30:21)”.
Dengan demikian maka lelaki sebagai ayah dan perempuan sebagai ibu dari bawah umur mereka hidup bersama membentuk suatu keluarga yang utuh. Setiap orang mempunyai perangai yang berbeda, namun bila keramahan, kasih sayang, dan kedamaian sanggup diciptakan dalam keluarga, maka seseorang harus membatasi dirinya sendiri dengan apa yang sanggup dikelolanya secara gampang yaitu seorang istri.
Keadaan berikut merupakan pemecahan terbaik bagi diperbolehkankannya poligami:
1. Bila istri menderita suatu penyakit yang berbahaya ibarat lumpuh, ayan, atau penyakit menular. Dalam keadan ini maka akan lebih baik bila ada istri yang lain untuk memenuhi dan melayani aneka macam keperluan si suami dan anak-anaknya. Kehadirannya pun akan turut membantu istri yang sakit itu.
2. Bila si istri terbukti mandul dan setelah melalui investigasi medis, para mahir beropini bahwa beliau tak sanggup hamil. Maka sebaiknya sumai menikah istri kedua sehingga beliau mungkin akan memperoleh keturunan, alasannya ialah anak merupakan permata kehidupan.
3. Bila istri sakit ingatan. Dalam hal ini tentu suami dan bawah umur sangat menderita.
4. Bila istri telah lanjut usia dan sedemikian lemahnya sehingga tak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isri, memelihara rumah tangga dan kekayaan suaminya.
5. Bila suami mendapatkan bahwa istrinya memeliki sifat yang jelek dan tak sanggup diperbaiki. Maka secepatnya beliau menikahi istri yang lain.
6. Bila beliau minggat dari rumah suaminya dan membangkang, sedangkan si suami merasa sakit untuk memperbaikinya.
7. Pada masa perang di mana kaum lelaki terbunuh meninggalkan perempuan yang sangat banyak jumlahnya, maka poligami sanggup berfungsi sebagai jalan pemecahan yang terbaik.
Selain hal-hal tersebut di atas, bila lelaki itu merasa bahwa beliau tak sanggup bekerja tanpa adanya istri kedua untuk memenuhi hajat syahwatnya yang sangat besar lengan berkuasa serta beliau mempunyai harta yang cukup untuk membiayanya, maka sebaiknya beliau mengambil istri yang lain. Ada beberapa tempat tertentu di dunia ini di mana kaum lelakinya secara fisik sangat besar lengan berkuasa dan tak sanggup dipuaskan hanya dengan seorang istri. Dalam hal demikian, maka poligami inilah jawabannya.
Islam melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang-orang jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Sudah merupakan kebiasaan para pemimpin dan kepala suku untuk memelihara harem/gundik yang banyak. Bahkan beberapa pengusaha Muslim telah menjadi korban dan melaksanakan poligami yang tak terbatas pada masa-masa kemudian dari sejarah Islam. Apapun yang mereka lakukan, yang terperinci poligami semacam itu tidak diperkenankan dalam Islam.
Sebenarnya hanya Poligami Terbatas yang Dibolehkan dalam al Qur’an. Beberapa ulama Zhahiri menyampaikan bahwa kata-kata al-Quran matsna berarti “ dua, dua ”, “ tiga, tiga ”, dan “ ruba ”, atau “empat-empat”, sehingga dengan demikian jumlah yang diizinkan mengembung menjadi delapan belas. Adapula yang berpikiran salah bahwa “Matsa wa tsulatsa wa ruba” dijumlahkan menjadi Sembilan belas, sehingga Islam mengizinkan poligami hingga Sembilan orang istri.
Sesungguhnya ini merupakan penafsiran Nabawi atas ayat ini tercantum dalam hadist Nabi saw berikut ini:
أن النبي صلي الله عليه وسلم قال لعلاذين اسية
الثقغي وقد اسلم و تحته عسر سوة أحترمنهن أربعا
وفارق سائرهن
Artinya:
“Sesungguhnya Nabi saw telah bersabda Ghayalan bin Umayyah Al-Tsaqafi yang telah memeluk Islam dan mempunyai sepuluh orang istri: “ Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikan yang lain”.
Begitu seorang Muslim menikahi lebih dari seorang istri, maka beliau bekewajiban untuk memperlakukan mereka secara sama dalam hal makan, kediaman, pakaian, dan bahkan hubungan seksual sejauh yang memungkinkan. Bila seorang agak ragu untuk sanggup memberikan perlakukan yang sama dalam memenuhi hak mereka, maka beliau tak boleh beristri lebih dari seorang. Kalau beliau merasa hanya bisa memenuhi kewajibannya terhadap seorang istri, beliau pun tak diperkanankan menikahi yang kedua.
Berikutnya jika dia hanya dapat berlaku adil terhadap dua istri, maka beliau tak boleh menikahi tiga. Batas terakhir ialah empat orang istri, bila beliau merasa perlu melakukakannya. Sebagaimana dalam al-Qur’an menyebutkan yang artinya
“Jika kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”.
“Jika kau takut tidak akan sanggup berlaku adil, maka kawinlah seorang saja”.
Keadilan yang disebut dalam ayat ini hanya bekerjasama dengan perjuangan yang dimungkinkana secara manusiawi. Dalam hal cinta kasih, sekalipun andaikan seorang benar-benar ingin berbuat adil dengan tujuan yang dia niatkan, beliau tetap tak akan bisa melakukannya mengingat keterbatasannya sebagai manusia.
Sewaktu menjelaskan ayat diatas, syeikh Muhammad bin Sirin berkata bahwa ketidakmampuan yang disebutkan dalam al-Quran ini bertalian dengan cinta kasih dan hubungan kelamin. Sedangkan Syikh Abu Bakar bin Al-Arabi berpendapat, “ Tak seorangpun yang sanggup mengendalikan ‘rasa’ hatinya, alasannya ialah beliau sepenuhnya berada dalam kekuasaan Ilahi ”. Demikian pula dalam kehidupan berkeluarga, seorang mungkin merasa lebih bahagia kepada istri dibandingkan kepada yang lainnya. Dikarenakan hal ini tidak disengaja oleh si suami, maka ia bukan kesalahannya dan karena tak akan dimintai pertanggung jawaban. Ibu orang-orang beriman, Aisyah, telah meriwayatkan sabda Nabi Saw:
كان رسول الله صلي عليه وسلم يعسم في بعدل
ويقول اللهم هذا قسصي
Artinya:
“ Adalah rasululah saw selalu mebangikan aneka macam hal dan berbuat dengan adil kepada semua istrinya, dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang sanggup saya usahakan, maka jangan tuntut saya atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan saya berkuasa atasnya”.
“ Adalah rasululah saw selalu mebangikan aneka macam hal dan berbuat dengan adil kepada semua istrinya, dan berdo’a: “wahai Allah, inilah pembagian yang sanggup saya usahakan, maka jangan tuntut saya atas hal yang berada dalam kauasa-Mu, dan saya berkuasa atasnya”.
Disini yang dimaksud ialah hati dan hal-hal yang bekerjasama denga hati ketika hadis terebut mengatakan: “Hal yang berada dalam kuasa Allah” (Abu Daud). Setelah memahami aspek yang harus diharapkan secara adil kepada semua istir, maka hadis Bai saw berikut ini dicamkan dalam hati untuk menghidarkan hal-hal yang melampui batas.
Rasulullah Saw telah bersabda: “Seorang lelaki yang menikahi lebih dari seorang perempuan kemudian tidak berlaku adil terhadap mereka, pasti akan dibangkitkan kembali (pada hari akhirat) dengan separuh aggota tubuhnya lumpuh”. Pemeliharaan nilai-nilai yang lebih tinggi dan menunjang kebaikan harus selalu merupakan tujuan utama. Maka izin untuk menikah lebih dari seorang perempuan pada suatu ketika, merupakan jalan darurat dan pencegahan yang penting untuk melindungi masyarakat dari kekacauan.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Analisa
Terlepas dari semua polemik yang marak ditengah-tengah masyarakat, bekerjsama poligami dilakukan oleh para poligam ialah demi kemaslahatan baginya. Meskipun tidak sedikit pula para pelaku poligami melaksanakan poligami hanya untuk memuaskan nafsu birahinya atau malah hanya sekedar mencari prestasi dan prestise ditengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialistis ibarat pada masa kini ini.
Yang perlu digaris bawahi ialah bahwa alasan ibarat hanya untuk memuaskan nafsu birahinya atau bahkan hanya sekedar untuk mencari prestasi dan prestise ditengah-tengah masyarakat yang hedonis dan materialistis sangat tidak dibenarkan dalam Islam, dan bahkan dilarang. Dan yang pasti dalam islam memperbolehkan seseorang melaksanakan poligami ialah demi kemaslahatan umat dan demi menjaga dan menjalankan syariat Allah.
B. Kesimpulan
Poligami atau menikah lebih dari satu orang istri atas ketentuan perihal poligami telah diperbolehkan dengan bersyarat. Di dalam al-Quran telah tercantum bahwa secara lebih khusus merujuk pada keadilan yang harus dilakukan dengan istri yang pertama. Serta harus ada kenyataan dari istri pertama dan harus atas izin istrinya.
Karena tujuan utama perkawinan dalam Islam ialah untuk membuat suatu keluarga yang sakinah di mana suami dan istri/istri-istrinya, serta anak-anaknya hidup dalam kedamaian dan cinta kasih.
C. Saran
Penulis mencoba menyikapi perkara poligami ini secara wajar. Penulis mencoba sepakat dengan para ulama untuk memperbolehkan poligami selama masih dalam batas kewajaran dan sejalan dengan syariat Islam. Dan selama poligami itu banyak mendatangkan kebaikan dari pada kemudhorotan. Disini penulis mencoba menekankan kepada para poligam untuk mencoba berlaku adil terhadap istri – istrinya. Dan jikalau seseorang tidak bisa untuk berbuat adil alangkah baiknya untuk tidak melaksanakan poligami.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, Muhammad. 1996. Fiqh kontemporer Dalam Pandangan Neo modernisme Islam. Yogyakarta: LESISKA. Cet I.
Fachruddin HS dan Zainuddin Hamidy. 1987. Al Qur’an dan Terjemahan Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Bina Aksara. Cet II.
Khisyik, Abdul Hamid.1995. Hikmah Pernikahan Rasulullah SAW. Bandung: Mizan. Cet. II.
Marzuki. 2005. Poligami dalam Hukum Islam dalam Jurnal Civic Media Kajian
Kewarganegaraan.Yogyakarta : Jurusan PKn UNY.
Nasution, Khoiruddin. 2002. Fazlurrahman perihal wanita. Yogyakarta: Tazzafa
dan ACAMIA. Cet I.
Ramulyo, Idris. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Bumi Aksara: Jakarta.
Shahrur, Muhammad. 2004. Metodologi Fiqh Islam Kontemporer. Yogyakarta: elSAQ Press. Cet. I.
Tjiptoherijanto, Prijono. Poligami dalam perspektif Ekonomi dalam Seminar. Jakarta 29 agustus 2007.
Undang – undang RI No. 1 tahun 1974 perihal Perkawinan.
INTERNET
Diakses dari :
penulis: ardi widayanto
follow: @ardimoviz
