1. Sejarah singkat KUHP
Induk peraturan aturan pidana positif Indonesia yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). kitab undang-undang hukum pidana ini mempunyai nama orisinil Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Belsuit (titah raja) Nomor 33 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan semenjak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibentuk pada tahun 1881 dan diberlakukan di negeri Belanda pada 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada dikala itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahan. Beberapa pasal dihapuskan dan diubahsuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negeri Belanda menciptakan perundangan-undangan aturan pidana semenjak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809. Kodifikasi aturan pidana pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun gres dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Prancis menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi aturan pidana) yang dibentuk tahun 1810 dikala Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Prancis. Pada tahun 1813 Prancis meninggalkan negeri Belanda, namun demikian negeri Belanda masih mempertahankan Code Penal tersebut hingga tahun 1886. Pada tahun 1886 mulai diberlakukan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon.
Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 untuk mengisi kekosongan aturan pidana yang diberlakukan di Indonesia maka atas dasar pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, WvSNI tetap diberlakukan. Pemberlakuan WvSNI menjadi aturan pidana Indonesia ini menggunkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 perihal Peraturan Hukum Pidana Indonesia. Dalam pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan “dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana”. Disamping itu, Undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali peraturan-peraturan pidana yang dikeluarkan semenjak tanggal 8 Maret 1942 baik yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang maupun oleh panglima tertinggi Balatentara Hindia Belanda.
Oleh lantaran usaha bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme kitab undang-undang hukum pidana sesudah tahun tersebut, maka pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia.
2. Struktur KUHP
Sistematika kitab undang-undang hukum pidana (WvS) terdiri dari 3 buku dan 569 pasal. Perinciannya yakni sebagai berikut :
a. Buku Kesatu perihal Aturan Umum yang terdiri dari 9 kepingan 103 pasal (Pasal 1-103).
b. Buku Kedua perihal Kejahatan yang terdiri dari 31 kepingan 385 pasal (Pasal 104-488).
c. Buku Ketiga perihal Pelanggaran yang terdiri dari 9 kepingan 81 pasal (Pasal 489-569).
Aturan Umum yang disebut dalam Buku Pertama Bab I hingga Bab VIII berlaku bagi Buku Kedua (Kejahatan), Buku Ketiga (Pelanggaran), dan aturan aturan pidana di luar kitab undang-undang hukum pidana kecuali aturan di luar kitab undang-undang hukum pidana tersebut memilih lain.
3. Usaha Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
Menurut Barda Nawawi Arief, pembaharuan aturan pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melaksanakan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) aturan pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Oleh lantaran itu, penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan aturan pidana Indonesia harus dilakukan biar aturan pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia. Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada aturan adat, aturan pidana positif (KUHP), aturan agama, aturan pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi aturan pidana.
Adapun alasan-alasan yang mendasari perlunya pembaharuan aturan pidana nasional pernah diungkapkan oleh Sudarto, yaitu:
a. alasan yang bersifat politik
yakni masuk akal bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka mempunyai kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan pujian nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan. Oleh lantaran itu, kiprah dari pembentuk undang-undang yakni menasionalkan semua peraturan perundang-undangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
b. alasan yang bersifat sosiologis
suatu kitab undang-undang hukum pidana intinya yakni pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, lantaran ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu hukuman yang bersifat negatif berupa pidana. Ukuran untuk memilih perbuatan mana yang dihentikan itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat perihal apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
c. alasan yang bersifat praktis
teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 sanggup disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak aturan yang memahami bahasa abnormal semakin sedikit. Di lain pihak, terdapat banyak sekali ragam terjemahan kitab undang-undang hukum pidana yang beredar. Sehingga sanggup dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan lantaran terjemahan yang kurang tepat.
Pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia yakni dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu :
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 perihal Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 perihal Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 perihal Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 perihal Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 perihal Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 perihal Perubahan kitab undang-undang hukum pidana (memperberat bahaya pidana Pasal 359, 360, dan memperingan bahaya pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 perihal Beberapa Perubahan dalam kitab undang-undang hukum pidana (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus limapuluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 perihal Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam kitab undang-undang hukum pidana dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 perihal Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 perihal Penerbitan Perjudian (memperberat bahaya pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10.UU Nomor 4 Tahun 1976 perihal Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya aturan pidana berdasarkan daerah (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A perihal Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 perihal Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan kitab undang-undang hukum pidana secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan biar rancangan kodifikasi aturan pidana nasional secepat mungkin diselesaikan. Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep kitab undang-undang hukum pidana pertama kali, diikuti dengan Konsep kitab undang-undang hukum pidana 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi hingga 1997/1998. Terakhir kali Konsep/Rancangan kitab undang-undang hukum pidana dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan kitab undang-undang hukum pidana 1999/2000 ini telah masuk di dewan perwakilan rakyat RI untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan kitab undang-undang hukum pidana secara total dan komprehensif terperinci membutuhkan waktu dan tenaga aliran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar aturan di Indonesia telah menciptakan Rancangan kitab undang-undang hukum pidana sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan kitab undang-undang hukum pidana kini (WvS) “hanya” berjumlah 569 pasal.
Nama : Ardi Widayanto
Prodi : PKnH’07 Reg
Universitaas Negeri Yogyakarta
Follow: @ardimoviz
