Disusun guna memenuhi kiprah mata kuliah Pendidikan kependudukan dan Lingkungan Hidup
BAB I
PENDAHULUAN
Ketika era globalisasi dan informasi belum sepenuhnya diantisipasi, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi dan reformasi yang berlanjut dengan banyak sekali tuntutan menyerupai otonomi, demokratisasi, dan proteksi hak-hak asasi manusia. Berbagai hal itu sering terkait satu dengan lainnya. Tuntutan menyerupai itupun merupakan hal yang wajar. Sayangnya, masalah-masalah besar itu tidak bias dipecahkan segera dan serempak, bahkan fakta-fakta yang ada mengatakan bahwa satu permasalahanpun seringkali tidak sanggup dipecahkan dengan memuaskan. Karenanya, masalah yang dihadapi Indonesia kini sangat kompleks dan berlarut-larut.
Apakah kaitan antara perubahan-perubahan itu dengan kebijakan kependudukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu lingkup permasalahan kependudukan. Pada satu sisi, permasalahan itu berputar pada masalah pokok demografis, yaitu fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan mobilitas (migrasi).
Secara sepintas, terutama bagi orang awam, permasalahan ini tampak sederhana. Namun, kalau menyadari bahwa permasalahan kependudukan tidak mengkaji individu per individu, masalahnya tidak pernah sederhana. Oleh lantaran itu, pada sisi lain, permasalahan kependudukan bias melebar ke banyak sekali permasalahan sosial ekonomi lain.
Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai kebijakan kependudukan, sehingga diharapakan dengan adanya pembahasan mengenai kebijakan kependudukan, akan menambah pengetahuan dan wawasan kita perihal kebijakan kependudukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebijakan Kependudukan
Kebijakan Kependudukan yakni kebijakan yang ditujukan untuk menghipnotis besar, komposisi, distribusi dan tingkat perkembangan penduduk. sedangkan DR. Elibu Bergman (Harvard university) Mendefinisikan kebijakan penduduk sebagai tindakan-tindakan pemerintah untuk mencapai suatu tujuan dimana didalamnya termasuk efek dan karakteristik penduduk. Secara umum kebijakan penduduk harus ditujukan untuk:
1) Melindungi kepentingan dan menyebarkan kesejahteraan penduduk itu sendiri terutama generasi yang akan datang.
2) Memberikan kemungkinan bagi tiap-tiap orang untuk memperoleh kebebasan yang lebih besar, guna memilih apa yang terbaik bagi kesejahteraan diri, keluarga dan anaknya.
3) Kebijakan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk itu sendiri. Pemecahan masalah kependudukan dengan pengendalian kelahiran saja tidak menjamin bahwa hasilnya secara otomatis akan meningkatkan kualitas hidup penduduk yang bersangkutan atau generasi yang akan datang.
Pada tahun 1965 PBB mempunyai kebijakan kependudukan yang terperinci dan menjadi dasar bagi tindakan-tindakan yang nyata, walaupun tubuh yang berjulukan “The Population Commission” dengan resmi sudah sanggup disahkan pada tanggal 3 oktober 1946.
B. Menyoal Kebijakan Kependudukan di Indonesia
AKTIVIS Sita Aripurnami memakai kutipan Zillah Eisenstein, The Color of Gender (1994) ini pada baris pertama tesis berjudul Reproductive Rights Between Control and Resistence: A Reflection on the Discourse of Population Policy in Indonesia, yang diajukan untuk mendapat Master of Science pada The Gender Institute, London School of Economics (LSE) London, Inggris. Sungguh kutipan yang sempurna untuk menganalisis politik reduksionis dalam kebijakan kependudukan di Indonesia, yakni bagaimana kebijakan kependudukan direduksi menjadi kebijakan keluarga berencana; kebijakan berencana direduksi menjadi kebijakan kontrasepsi; kebijakan kontrasepsi direduksi lagi menjadi hanya kontrasepsi bagi perempuan. Dari 20 jenis kontrasepsi yang beredar, 90 persen di antaranya ditujukan untuk perempuan.
Bank Dunia pernah menyebut Indonesia sebagai "salah satu transisi demografis paling mengesankan di negara sedang berkembang". Pada masa itu tingkat fertilitas turun dari 5,5 menjadi tiga per kelahiran, sementara tingkat kelahiran bergairah turun dari 43 menjadi 28 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 1970, pertumbuhan penduduk turun dari sekitar 3,5 persen menjadi 2,7 persen dan turun lagi menjadi 1,6 persen pada tahun 1991. Banyak negara berkembang kemudian berguru implementasi jadwal KB di Indonesia. Tetapi, hampir bisa dipastikan, dalam "transfer pengetahuan" itu tidak disebut metode yang membuat jadwal itu sukses; yakni koersi (pemaksaan dengan ancaman) terhadap perempuan, khususnya dari kelompok masyarakat kelas bawah, terutama dikala awal jadwal diperkenalkan.
DI bawah panji-panji Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera (NKKBS), jadwal pengendalian penduduk (baca: KB dengan alat kontrasepsi) dilancarkan. Seperti halnya di negara berkembang lain awal tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru meyakini KB sebagai taktik ampuh mengejar ketertinggalan pembangunan. Ajaran Malthusian mengasumsikan, dengan jumlah penduduk terkendali rakyat lebih makmur dan sejahtera. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi-yang merupakan pereduksian makna "pembangunan"-tinggi guna mencapai kemakmuran, di antara syaratnya yakni "zero growth" di bidang kependudukan. Hubungan antara pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan ekonomi menjadi semacam kebenaran, sehingga tidak lagi memerlukan pembuktian. Dalam Konferensi Kependudukan dan Pembangunan (ICPD) di Cairo, Mesir, 1994, forum swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan, kebijakan kependudukan yang reduksionis ini dikonstruksi sistematis melalui forum internasional. Pertumbuhan penduduk menjadi prakondisi tunjangan pembangunan.
Di Indonesia, menyerupai pernah dikemukakan penggagas kesehatan reproduksi Ninuk Widyantoro, para petugas medis hanya diajari cara memasang susuk (nama lain dari Norplant), tetapi tidak cara mengeluarkannya. Pendarahan dan imbas samping lain pemasangan kontrasepsi di tubuh perempuan sering dianggap tidak soal. Secara ironis pula, perencanaan jadwal sebagian besar dilakukan laki-laki. Angka keberhasilan KB dijadikan salah satu komponen keberhasilan pembangunan, sehingga cara apa saja dipakai untuk mencapai "angka keberhasilan" itu. Manusia, khususnya perempuan, telah berubah maknanya menjadi hanya angka dan target. Caranya, tak jarang memakai pemaksaan dan ancaman aparat. Penelitian Sita Aripurnami dan Wardah Hafidz awal tahun 1990-an memperlihatkan, hal itu terjadi pada pemasangan IUD di desa-desa. Rezim Orde Baru, menyerupai halnya rezim pembangunanisme di mana pun, memperlakukan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas peledakan jumlah penduduk. Dengan demikian, mereka harus dikontrol ketat. Sosiolog Ariel Heryanto pernah menyatakan, jadwal KB telah membuat alat reproduksi perempuan menyerupai milik sah negara yang bisa dipakai para birokrat korup untuk mendapat utang. Pelajaran masa kemudian ini amat berharga, lantaran pelanggaran hak asasi insan (HAM) di Indonesia salah satunya disebabkan masalah KB. Ke depan, kebijakan kependudukan harus dikembalikan pada hakikatnya semula dengan menempatkan kesehatan reproduksi perempuan sebagai landasan. Itu berarti, perempuan mempunyai hak mengontrol tubuhnya untuk bebas dari paksaan, kekerasan,serta diskriminasi pihak mana pun. Akses pada pelayanan kesehatan reproduksi harus dibuka untuk siapa pun. Proses demokrasi harus dimulai dari masalah ini.
C. Konperensi Kependudukan Dunia
Konperensi kependudukan dunia dilaksanakan oleh PBB tahun 1954 di Roma. Kehati-hatian mewarnai penyebutan masalah kepadatan penduduk. Pro-kontra terjadi perihal adanya masalah kepadatan penduduk.
Tahun 1954-1965 laporan-laporan perihal tekanan-tekanan yang disebabkan oleh kepadatan penduduk dalam kehidupan politik, ekonomi dan sosial dalam bentuk angka-angka stastistik membuka mata dunia akan adanya masalah kependudukan. Hal ini tercermin dalam konperensi kependudukan dunia ke-2 yang dilaksanakan oleh PBB di Beograd tahun 1965. Sejak konperensi ini masalah kependudukan dinyatakan sebagai masalah dunia yang harus segera ditangani.
Pada hari HAM 1968, dicetuskan Deklarasi pemimpin-pemimpin dunia tantang kependudukan. Deklarasi itu diterima sebagai resolusi XVII dalam konperensi perihal HAM di Teheran pada tanggal 12 Mei 1968. Presiden Indonesia merupakan salah seorang dari 30 orang kepala negara yang turut menendatanganinya.
Pertumbuhan penduduk yang terlalu cepat sangat merintangi taraf hidup, kemajuan, peningkatan kesehatan dan sanitasi, pengadaan perumahan dan alat-alat pengangkutan, peningkatan kebudayaan, kesempatan rekreasi dan untuk banyak nagara merintangi pemberian pangan yang cukup kepada rakyat. Ringkasnya impian insan seluruh dunia untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik diganggu dan dibahayakan oleh pertumbuhan penduduk yang tak dikendalikan itu.
Pernyataan Bersama PBB mengenai kependudukan oleh Sekjen PBB U Than 10 Desember 1966 adalah: “Kami para pemimpin Negara-negara yang sangat memperhatikan masalah kependudukan sependapat bahwa:
a. Masalah kependudukan perlu menjadi unsur utama dalam planning pembangunan jangka panjang kalau negara itu ingin mencapai tujuan ekonomi yang dicita-citakan oleh rakyat.
b. Sebagian orang dari para orang renta ingin memperoleh pengetahuan perihal cara-cara merencanakan keluarga dan yakni hak tiap-tiap insan untuk memilih jumlah dan menjarangkan kelahiran anaknya.
c. Perdamaian yang sesungguhnya dan kekal sangat bergantung pada cara kita menanggulangi pertumbuhan penduduk.
d. Tujuan Keluarga Berencana yakni untuk memperkaya kehidupan umat insan bukan untuk mengekangnya; bahwa dengan keluarga berencana tiap-tiap orang akan memperoleh kesempatan yang lebih baik untuk mencapai kemuliaan hidup dan menyebarkan bakatnya.
e. Sadar bahwa gerakan keluarga berencana yakni untuk kepentingan keluarga dan negara maka kami para penandatanganan sangat berharap pemimpin-pemimpin seluruh dunia menyepakati pernyataan itu.
Deklarasi kependudukan tersebut, merupakan pangkal tolak dari dilaksanakan jadwal kependudukan atas dasar kebijakan kependudukan tiap Negara. Sekarang sebagian besar dari negara-negara anggota PBB telah mempunyai kebijakan kependudukan termasuk Indonesia. Dalam memilih suatu kebijakan perihal kependudukan yang penting yakni memperhatikan kualitas penduduk itu sendiri, stabilitas dari sumber-sumber kehidupan mereka, kelangsungan adanya lapangan kerja, standar kehidupan yang menyenangkan, dimana keamanan nasional maupun kebahagiaan perorangan harus diperhitungkan.
Kebijakan kependudukan sanggup dilakukan melalui 3 komponen perkembangan penduduk yaitu : kelahiran (fertilitas), maut (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi). Mencegah pertumbuhan penduduk bekerjsama sanggup dilakukan dengan banyak sekali cara, menyerupai : peningkatan migrasi keluar, peningkatan jumlah maut atau penurunan jumlah kelahiran.
Cara yang pertama sulit kiranya untuk dilakukan lantaran semua negara di dunia ini melaksanakan pengawasan dan pembatasan orang-orang absurd pendatang baru, sehingga mempersulit terjadinya migrasi secara besar-besaran. Juga mustahil diharapkan bahwa pemerintah berani menjalankan kebijakan peningkatan jumlah kematian. Kaprikornus satu-satunya cara yang tinggal yakni dengan menurunkan jumlah kelahiran. Keuntungan pertama yang kasatmata dari hasil penurunan jumlah kelahiran yakni perbaikan kesehatan ibu dan belum dewasa yang sudah ada, dan penghematan pembiayaan pendidikan.
Usaha memecahkan kepadatan penduduk lantaran tidak meratanya penyebaran penduduk, menyerupai terdapat di JAMBAL (Jawa, Madura,dan Bali) yakni dengan memindahkan penduduk tersebut dari pulau Jawa, Madura, dan Bali ke pulau-pulau lain. Usaha ini di Indonesia dikenal dengan nama “Transmigrasi” dan telah ditempatkan pada prioritas yang tinggi. Disamping migrasi, masalah lainnya perlu dipecahkan yakni perpindahan penduduk dari tempat pedesaan ke tempat perkotaan, yang dikenal dengan nama “Urbanisasi”. Menurut hasil sensus 1980, 18,8% dari jumlah penduduk Indonesia bermukim di tempat kota. Setengah era yang kemudian jumlah penduduk kota di Indonesia telah berkembang lebih cepat daripada perkembangan penduduk Indonesia. Hampir sepertiga dari pertambahan penduduk Indonesia dalam dekade terakhir ditampung oleh tempat perkotaan. Masalah yang timbul yakni belum siapnya kota-kota tersebut untuk menampung pendaftar gres yang melampaui kemampuan daya tampung kota-kota tadi.
Secara garis besarnya tujuan kebijakan kependudukan, yakni sebagai berikut: memelihara keseimbangan antara pertambahan dan penyebaran penduduk dengan perkembangan pembangunan sosial ekonomi, sehingga tingkat hidup yang layak sanggup diberikan kepada penduduk secara menyeluruh. Usaha yang demikian meliputi seluruh kebijakan baik di bidang ekonomi, sosial, kulturil, serta kegiatan-kegiatan lain untuk meningkatkan pendapatan nasional, pembagian pendapatan yang adil, kesempatan kerja dan pembangunan pendidikan secara menyeluruh. Strategi yang dipakai yakni jangka panjang maupun jangka pendek.
Di Indonesia tujuan jangka panjang diusahakan sanggup dijangkau dengan:
1. Peningkatan volume transmigrasi ke daerah-daerah yang memerlukannya.
2. Menghambat pertumbuhan kota-kota besar yang menjurus kea rah satu-satunya kota besar di suatu pulau tertentu dan mengutamakan pembangunan pedesaan.
Tujuan jangka pendek diarahkan kepada penurunan secara berarti pada tingkat fertilitas, peningkatan volume transmigrasi setiap tahunnya dan perencanaan serta pelaksanaan urbanisasi yang mantap.
Program-program kebijakan yang disusun untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
1. Meningkatkan jadwal keluarga berencana sehingga sanggup melembaga dalam masyarakat. Termasuk semua jadwal pendukung bagi keberhasilannya menyerupai peningkatan mutu pendidikan, peningkatan umur menikah pertama, peningkatan status wanita.
2. Meningkatkan dan menyebarluaskan jadwal pendidikan kependudukan.
3. Merangsang terciptanya keluarga kecil, senang dan sejahtera.
4. Meningkatkan jadwal transmigrasi secara teratur dan nyata.
5. Mengatur perpindahan penduduk dari desa ke kota secara lebih komprehensif di dalam perencanaan pembangunan secara menyeluruh.
6. Mengatasi masalah tenaga kerja.
7. Meningkatkan training dan pengamanan lingkungan hidup.
Hambatan-hambatan yang ada dalam perjuangan memecahkan masalah kepadatan penduduk.
Penduduk di hampir semua negara berkembang termasuk Indonesia selama berabad-abad hidupnya telah dipengaruhi oleh nilai, norma dan moral istiadat yang bersifat positif terhadap sikap dan tingkah laris yang menginginkan anak banyak. Struktur kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya (agama) telah memantapkan kehidupan pribadi. Untuk sanggup merubah sikap dan tingkah laris tersebut menjadi sikap dan tingkah laris untuk menyenangi dan menginginkan anak sedikit diharapkan jadwal pendidikan dan program-program pemberian motivasi lainnya.
Kebijaksanaan kependudukan secara menyeluruh harus memperhitungkan hambatan-hambatan dari segi politis, ekonomis, sosial, budaya, agama juga dari segi psikologis perorangan dan masyarakat yang di negara-negara berkembang masih cenderung mendukung diterimanya banyak anak. Program-program “beyond family planning” harus lebih diintensifkan dan diekstensifkan. Di samping perjuangan peningkatan produksi dalam segala bidang kebutuhan hidup penduduk (pangan, sandang, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain), perlu ditingkatkan perjuangan yang berafiliasi dengan:
1. Pelaksanaan wajib berguru dan perbaikan mutu pendidikan.
2. Perluasan kesempatan kerja.
3. Perbaikan status perempuan dan ekspansi kesempatan kerja bagi mereka.
4. Penurunan maut bayi dan anak-anak.
5. Perbaikan kesempatan urbanisasi.
6. Perbaikan jaminan sosial dan jaminan hari tua.
BAB III
KESIMPULAN
Kebijakan Kependudukan yakni kebijakan yang ditujukan untuk menghipnotis besar, komposisi, distribusi dan tingkat perkembangan penduduk
Kebijakan kependudukan sanggup dilakukan melalui tiga komponen perkembangan penduduk yaitu :
1) kelahiran (fertilitas)
2) kematian (mortalitas)
3) perpindahan penduduk (migrasi).
Sedangkan Mencegah pertumbuhan penduduk bekerjsama sanggup dilakukan dengan banyak sekali cara, menyerupai : peningkatan migrasi keluar, peningkatan jumlah maut atau penurunan jumlah kelahiran.
Alasan yang rasional mengapa diharapkan kebijakan kependudukan. Pertama, salah satu fungsi pemerintah yakni membuat kesejahteraan masyarakat. Ini tujuan paling fundamental dari setiap kebijakan pembangunan. Kedua, sikap demografi (demographic behavior) terdiri dari sejumlah tindakan individu. Ketiga, tindakan tersebut merupakan perjuangan untuk memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan individu. Keempat, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merupakan penjumlahan dari kesejahteraan individu. Kelima, oleh lantaran itu pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk berusaha mengubah situasi dan kondisi sehingga menghipnotis persepsi perihal kesejahteraan individu dan pada hasilnya kesejahteraan masyarakat sama dengan penjumlahan dari kesejahteraan individu.
DAFTAR PUSTAKA
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0007/11/IPTEK/meny10.htm
Siasah Masruri, Muhsinatun,dkk.2002.Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup.Yogyakarta:UPT MKU UNY
penulis: Ardi widayanto, mahasiswa pknh, uny jogja
Follow: @ardimoviz
