Konvensi ialah aturan kebiasaan dalam konteks ketatanegaraan yang hidup di lembaga-lembaga kenegaraan atau direktur . Konvensi merupakan aturan tidak tertulis dalam ketatanegaraan sedangkan aturan tertulisnya ialah konstitusi/UUD 1945.Hukum tidak tertulis mengisi kekosongan aturan yg tidak diatur dalam aturan tertulis.
Contoh konvensi-konvensi yang ada di Indonesia :
- Praktik di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
- Pidato Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR. Secara konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden memberikan pidato resmi tahunan semacam itu alasannya ialah presiden tidak tergantung dewan perwakilan rakyat dan tidak bertanggung jawab pada DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini tumbuh semenjak Orde Baru.
- Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah menyiapkan rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka tiba itu. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 hal ini tidak diatur, bahkan berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945 MPR-lah yang harus merumuskan dan kesudahannya memutuskan GBHN. Namun untuk memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang merupakan pinjaman pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota MPR. Hal tersebut merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.
- Pada setiap ahad pertama bulan Januari, Presiden Republik Indonesia selalu memberikan klarifikasi terhadap Rancangan Undang-undang perihal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di hadapan DPR, perbuatan presiden tersebut termasuk dalam konvensi. Hal ini pun tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, dalam pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 hanya disebutkan bahwa "Anggaran Pendapatan dan Belanja ditetapkan tiap-tiap tahun dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran tahun lalu". Penjelasan oleh Presiden mengenai RUU perihal APBN di depan dewan perwakilan rakyat yang sekaligus juga diketahui rakyat sangat penting, alasannya ialah keuangan negara itu menyangkut salah satu hak dan kewajiban rakyat yang sangat pokok. Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan dari mana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat itu sendiri, dengan perantaraan Dewan Perwakilan Rakyat, demikian klarifikasi Undang-Undang Dasar 1945.
- Adanya Menteri Negara Nondepartemen dalam praktik ketatanegaraan di bawah Pemerintahan Orde Baru. Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa : "menteri-menteri itu memimpin Departemen Pemerintahan". Jika ditinjau dari ketentuan Pasal 17 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, maka menteri-menteri itu harus memimpin Departemen. Namun demikian dalam praktik ketatanegaraan di masa Orde Baru dengan kabinet yang dikenal Kabinet Pembangunan, komposisi menteri dalam tiap-tiap periode Kabinet Pembangunan di samping ada Menteri yang memimpin Departemen, terdapat juga Menteri Negara Nondepartemen. Adanya Menteri Nondepartemen berkaitan dengan kebutuhan pada kala pembangunan remaja ini. Karena adanya Menteri Negara Nondepartemen sudah berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, maka dapatlah dipandang sebagai konvensi dalam ketatanegaraan kita remaja ini. Tidaklah sanggup diartikan bahwa adanya Menteri Negara Nondepartemen mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Karena barulah terjadi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 apabila prinsip-prinsip konstitusional yang dianut telah bergeser, contohnya menteri-menteri kedudukannya tidak lagi tergantung presiden dan bertanggung jawab pada presiden. Dalam hal ini contohnya menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada dewan perwakilan rakyat dan kedudukannya tergantung DPR.
- Pengesahan Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR. Secara konstitusional presiden bergotong-royong memiliki hak untuk menolak mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui DPR, sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi dalam praktik presiden belum pernah memakai wewenang konstitusional tersebut, presiden selalu mengesahkan Rancangan Undang-undang yang telah disetujui oleh DPR, meskipun Rancangan Undang-undang itu telah mengalami aneka macam pembahasan dan amandemen di DPR. Rancangan Undang-undang kebanyakan berasal dari Pemerintah (Presiden) sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pembahasan RUU tersebut kedudukan dewan perwakilan rakyat merupakan partner dari presiden (pemerintah). Maka legalisasi Rancangan Undang-undang oleh Presiden sangat dimungkinkan alasannya ialah RUU tersebut kesudahannya merupakan akad antara dewan perwakilan rakyat dengan Pemerintah.
Sumber:
Thaib,Dahlan.2006.Teori dan Hukum Konstitusi.Jakarta:Raja Grafindo Persada.
