FENOMENA NGABEN MASSAL
DI DESA ADAT LEGIAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi kiprah mata kuliah Antropologi Budaya
BAB I
PENDAHULUAN
Negara kita merupakan sebuah Negara yang bersifat multicultural. Negara kita kaya akan banyak sekali jenis kebudayaan.masing-masing kawasan mempunyai corak kebudayaan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Salah satu tumpuan kebudayaan yang ada di negeri kita ialah upacara ngaben.
Upacara ngaben ini merupakan salah satu kebudayaan atau tradisi yang cukup langka di Negara kita. Upacara in juga merupakan tradisi khas bagi masyarakat pemeluk agama Hindhu di Bali.
Masyarakat tersebut menganggap bahwa upacara ngaben atau upacara pembakaran mayit orang yang sudah meninggal dunia tersebut merupakan suatu hal yang sangat penting, alasannya dengan pengabenan tersebut keluarga sanggup membebaskan arwah orrang yang meninggal dari ikatan duniawinya., sehingga sanggup menuju sorga atau bermetamorfosis kembali ke dunia melalui reinkarnasi.
Banyak di antara kita yang belum mengetahui secara mendalam wacana tradisi ini. Makalah ini akan menyajikan suatu pembahasan mengenai hal tersebut. Makalah ini akan mengkaji fenomena “Ngaben Masal di Desa Legian” yang merupakan salah satu wilayah di Pulau Bali, dengan keinginan sanggup menambah wawasan/ pengetahuan para pembacanya.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Latar Belakang Ngaben Massal di Desa Adat Legian
Sebagai umat beragama Hindu yang menjunjung tinggi nilai-nilai budbahasa dan budaya, sudah merupakan kewajiban bagi sebuah kelompok masyarakat atau individu untuk melaksanakan apa yang telah ditentukan atau digariskan oleh norma-norma dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu ialah melaksanakan Yadnya. Salah satu dari Yadnya/ kewajiban tersebut ialah melaksanakan upacara ngaben. Upacara ngaben dilaksanakan terhadap keluarga yang telah meninggal oleh keluarga yang ditinggalkan sebagai kewajiban membayar hutang kepada leluhur. Di dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban selaku umat beragama, sangat terkait dengan budbahasa dan tradisi suatu desa pakraman, dimana di dalam hal ini ialah budbahasa dan tradisi warga masyarakat di Desa Legian. Untuk mengetahui bagaimana dan apa saja teradisi tersebut, alangkah baiknya diuraikan terlebih dahulu wacana kondisi dan situasi desa legian.
Legian ialah merupakan sebuah Desa Adat yaitu yang disebut Desa Adat Legian yang merupakan satu kesatuan wilayah/palemahan (wewidangan) yang terdiri dari tiga Banjar Suka-Duka dan Banjar Dinas yaitu Br. Legian Kaja, Br. Pekandelan Legian (Legian Tengah), dan Br. Legian Kelod. Desa Adat Legian, sesuai dengan keputusan Pemkab Badung mengadakan pemekaran wilayah, menjadi satu wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Legian. Ditinjau dari segi topografi, desa legian ialah termasuk wilayah dataran rendah yang terletak di pesisir pantai. Penduduknya bersifat heterogen, yang terdiri dari banyak penduduk pendatang baik dari luar Bali maupun dari Bali, tetapi luar kabupaten. Jumlah penduduk orisinil hanya berkisar sekitar 600 orang.
Sebagai masyarakat Bali yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama Hindu, masyarakat desa budbahasa legian selalu taat dalam melaksanakan pedoman Agama, serta sangat menghormati para leluhurnya, yaitu dengan jalan membayar hutang dalam bentuk persembahan yadnya mirip yang telah dikemukakan pada awal goresan pena ini. Kembali disebutkan bahwa salah satu dari pelaksanaan yadnya tersebut ialah melaksanakan upacara ngaben bagi orang atau keluarga yang sudah meninggal. Upacara ngaben ini dilaksanakan dengan maksud untuk mempercepat proses kembalinya panca mahabhuta yang membentuk tubuh manusia, semoga kembali ke asalnya. Dan bertujuan untuk melancarkan jalan bagi atman untuk sanggup mencapai alam sorga.
Dalam melaksanakan upacara ngaben, tentu dana yang diharapkan cukup besar, bagi ukuran umat atau masyarakat yang ada di Desa Legian. Jika keluarga yang cukup mampu, akan melaksanakan ngaben segera sehabis ada anggota keluarga yang meninggal, dan sebaliknya kalau yang meninggal itu ialah dari keluarga yang tidak mampu/miskin, maka jenasahnya cukup dikubur dengan upacara secukupnya, dan akan melaksanakan ngaben sehabis ia mampu. Biasanya untuk sanggup melaksanakannya akan menunggu cukup lama, mungkin 10 – 25 tahun atau lebih.
Untuk mengantisipasi hal tersebut,maka desa budbahasa melaksanakan upaya-upaya untuk menunjukkan proteksi dalam bentuk merangkul kewajiban masyarakat dalam melaksanakan upacara ngaben, sehingga bagi masyarakat yang kurang bisa sanggup menunjukkan kewajiban membayar hutang kepada leluhurnya. Karena mirip diketahui, untuk melaksanakan upacara ngaben (di Legian) memerlukan biaya yang cukup besar. Dalam hal trsebut masyarakat adat, melalui keputusan parum samuan tiga, menghasilkan suatu keputusan untuk melaksanakan upacara ngaben secara masal.
2. Maksud dan Tujuan
Maksud dari dilaksanakannya upacara ngaben adalah:
Secara garis besar, bahwa ngaben itu dimaksudkan untuk memproses unsur Panca Mahabhuta yang membentuk tubuh insan untuk dikembalikan ke asalnya. Atau dengan kata lain, stula sarira dari tubuhmanusia yang telah meninggal dikembalikan lagi ke Panca Maha Buta atau alam semesta melalui proses Pralina atau pembakaran. Oleh karenanya bantu-membantu ngaben tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meninggal harus segera diaben.
Tujuan dari dilaksanakannya upacara ngaben :
Menyucikan arwah leluhur atau orang tua, sehingga arwahnya bisa mencapai Bhuah Loka yaitu alam Pitara. Di dalam Ngaben terdiri dari pemisahan Purusa dan Prakerti Jiwatman dengan stula sarira atau tubuh wadag. Jiwatman yang berasal dari Hyang Widhi dikembalikan Kembali ke Hyang Widi. Disamping itu untuk membayar hutang kepada orangtua/leluhur, yaitu dalam Pitra Rnam ialah orang bau tanah yang “melahirkan” kita sehingga kita bermetamorfosis ke dunia, maka itulah orangtua disebutkan dengan nama Guru Rupaka. Orang bau tanah ialah merupakan Dewa skala, yang mengadakan si anak, alasannya dengan adanya pertemuan Sukla - swanita itulah atma akan menjiwai manusia. Inilah landasan kita berbakti setulus tulusnya terhadap orang tua/leluhur. Orang bau tanah mempunyai hubungan timbal balik, yang diwujudkan dalam upacara Ngaben. Dalam Upacara Ngaben terkandung dualisme, yaitu orang bau tanah yang mengadakan anaknya melalui proses ciptaan dan sehabis orang bau tanah meningal, anaknya yang mengembalikan orang tuanya ke asal yang disebut dengan "Mulihing Sangkan Paran".
3. Landasan Upacara
Di dalam kitab Menawa Dharmasastra VI. 35, ada disebutkan bahwa kegiatan atau kegiatan beragama gres sanggup dilakukan dalam rangka melepaskan diri dari ikatan duniawi dengan jalan mencapai kelepasan sehabis kita sanggup menebus tiga hutang moral. Hutang moral dalam agama Hindu disebut dengan TRI RNA yang terdiri dari:
· Dewa Rna yang berarti berhutang moral kepada Tuhan,
· Pitra Rna yang berarti hutang moral kepada kepada leluhur, dan
· Resi Rna berhutang moral kepada Resi atau orang-orang suci atau guru.
· Hutang moral ialah suatu kesadaran rohani yang menyadari bahwa adanya kehidupan ini alasannya Yadnya dari Tuhan, leluhur dan orang suci ( Dewa, Pitra dan Rsi). Karena yadnya itulah orang yang mempunyai kesadaran moral akan merasa berhutang kepada Dewa, Pitra, dan Resi. Dengan adanya kesadaran moral Tri Rna itu, maka dilakukan Panca Yadnya sebagai wujud rasa bakti kepada Dewa, Pitra dan Rsi.
4. Rangkaian Upacara Ngaben
· Pedewasan Karya
Sebelum memulai suatu prosesi upacara yang mana dalam hal ini upacara ngaben, maka perlu ditetapkan terlebih dahulu hari baik atau sube dewase untuk memulainya.Dalam hari suba cukup umur yang telah ditetapkan tersebut diawali dengan prosesi ritual yang disebut dengan Ngeruak, Nyapuh, dan Nanceb Pampang.
· Ngeruak dan Nyapuh
Ngeruak berasal dari kata “uak” yang artinya buka, sedangkan nyapuh berarti membersihkan. Kaprikornus ngeruak bermakna membuka jalan atau memberi jalan keluar kemudian sehabis dibuka jalan dibersihkan dari segala kekotoran atau keletehan. Secara ritual upacara ngeruak dan nyapuh ini berarti suatu prosesi upacara untuk membuka jalan dan mengeluarkan/membersihkan secara niskala efek kekuatan-kekuatan negatif dari Sang Hyang Panca Maha Bhuta yang dulunya mempunyai fungsi-fungsi tertentu pada suatu tempat, untuk dikembalikan ke arah sentrum atau dengan kata lain dinetralisir. Kaprikornus upacara ngeruak dan nyapuh disini juga sanggup dimaknai untuk menyucikan atau menetralisir suatu areal/tempat atau pekarangan dari segala keletehan dan kekotoran, sehingga sanggup difungsikan sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan penggunaan, yang mana dalam hal ini ialah untuk tempat melaksanakan kegiatan yang bekerjasama dengan pelaksanakan ngaben, atau disebut dengan “bale pengorong”.
· Nanceb Pampang
Nanceb Pampang secara kronolog artinya memancangkan tiang.Yaitu suatu prosesi upacara yang ditandai dengan nuasen memancangkan/nanceb tiang-tiang bangunan sebagai prasarana dalam kegiatan upacara Ngaben.
· Ngulapin
Ini maksudnya ialah untuk memanggil atau memberi informasi secara niskala kepada roh atau atma untuk diajak pulang alasannya akan diaben.
· Ngajum
Ngajum ialah menusukan jarum yang telah disediakan pada kajang yang merupakan simbul dari orang yang diaben yang dibentuk dari uang kepeng (pis bolong) yang ibarat bentuk insan lengkap dengan pakaiannya. Hal ini mengambarkan memberi hormat kepada roh leluhur yang diaben semoga mendapat sorga.
· Ngendag
Acara ngendag dilakukan sehari menjelang puncak upacara ngaben. Ngendag yaitu, membongkar dan menggali sebagian kuburan jenasah yang akan diaben hingga kelihatan peti atau pembungkusnya.
· Pengutangan
Pengutangan merupakan puncak upacara. Pada hari ini roh leluhur yang akan diaben yang disimbulkan dengan adegan yang disebut dengan sawa, dibawa ke setra dan ditempatkan pada tempat pembakaran yang disebut dengan pemalungan. Sebelum dibakar, dilaksanakan upacara dengan memerciki tirta.
· Nganyut ke Segara
Nganyut ke Segara ialah rangkaian terakhir upacara ngaben. Jika semua sawa atau tulang-tulang yang ada dipemalungan sudah habis terbakar, kemudian tulang bekas-bekas pembakaran itu dipungut kembali dan siram dengan air bersih. Selanjutnya dilaksanakan upacara ngereka yaitu membentuk kembali abu-abu dari tulang yang dibakar kedalam bentuk perwujudan simbolis manusia.
5. Kaitan Ngaben Dengan Teori Difusi
Ngaben mempunyai kaitan dekat dengan teori difusi. Ngaben merupakan tradisi keagamaan umat Hindu. Masuknya budaya Ngaben ini ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Hindu tersebut. Agama Hindu bukanlah agama yang semenjak awal sudah ada di Indonesia. Agama Hindu masuk ke Indonesia alasannya proses difusi atau penyebaran. Ada orang mancanegara yang memang telah memeluk agama Hindu tersebut sebelumnya. Merekapun mewariskannya pada generasi berikutnya secara turun-temurun, hingga jadinya dikala inipun agama Hindu beserta segenap tradisi-tradisi hinduistik yang mengikutinya,termasuk budaya Ngaben sebagai salah satunya masih bertahan, mengakar dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat yang menyakininya.
BAB III
PENUTUP
Demikianlah makalah mengenai “ Fenomena Ngaben Masal di Desa Adat Legian”. Dari pembahasan tadi sanggup disimpulkan bahwa upacara Ngaben ialah upacara pembakaran mayit yang di laksanakan umat Hindu di Bali. Upacara Ngaben sangat berkaitan dengan budbahasa dan tradisi warga masyarakat di Desa Legian. Maksud dari Upacara Ngaben untuk mempercepat proses kembalinya panca mahabhuta yang membentuk tubuh manusia, semoga kembali ke asalnya. Tujuannya untuk melancarkan jalan bagi atman untuk mencapai alam surga. Upacara Ngaben dilaksanakan terhadap keluarga yang telah meninggal oleh keluarga yang ditinggalkan sebagai kewajiban membayar hutang kepada leluhur. Rangkaian Upacara Ngaben antara lain pedewasan karya, ngeruak dan nyapuh, nancep pampang, ngulapin, ngajum, ngendag, pengutangan, dan nganyut ke segara.
DAFTAR PUSTAKA
Tatib, I Made.2002. Upacara Tentang Ajaran Agama Hindu/Parisada Hindu Dharma. Jakarta: Felita Nursatama Lestari.
Tatib, I Made.2002. Upacara Tradisional Palebon Jro Ketut di Daerah Bali.Denpasar: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.