Skip to main content

Teori-Teori Aturan Pidana

Teori-Teori Hukum Pidana
A. Teori Absolut
Teori Absolut disebut juga teori pembalasan. Pandangan dalam teori ini yaitu bahwa syarat dan pembenaran dalam penjatuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari fungsi mudah yang diperlukan dari penjatuhan pidana tersebut. Dalam fatwa ini, pidana terlepas dari dampaknya di masa depan, dikarenakan telah dilakukan suatu kejahatan maka harus dijatuhkan hukuman. Dalam fatwa otoriter ini terdapat keyakinan yang mutlak atas pidana itu sendiri, sekalipun penjatuhan pidana sebetulnya tidak mempunyai kegunaan atau bahkan mempunyai dampak yang lebih jelek terhadap pelaku kejahatan. Perlu diketahui bahwa maksud dan tujuan fatwa otoriter ini selain sebagai pembalasan, berdasarkan pandangan Stammler yaitu juga untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa aturan telah ditegakkan. Tujuan pemidanaan dalam fatwa otoriter ini memang terang sebagai pembalasan, tetapi cara bagaimana pidana tersebut sanggup dibenarkan kurang jelas, sebab dalam fatwa ini tidak dijelaskan mengapa harus dianggap adil meniadakan rasa terganggunya masyarakat dengan cara menjatuhkan penderitaan terhadap seseorang yang melaksanakan kejahatan. Tindakan Pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah yaitu:
a.   Ditujukan pada penjahatnya (sudut subyektif dari pembalasan)
b.   Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut obyektif dari pembalasan)
B. Teori Relatif
Teori reltif atau teori tujuan berpangkal pada dasar bahwa pidana yaitu alat untuk menegakan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Pidana yaitu alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan supaya tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Dalam teori relatif penjatuhan pidana tergantung dari imbas yang diperlukan dari penjatuhan pidana itu sendiri, yakni supaya seseorang tidak mengulangi perbuatannya. Hukum pidana difungsikan sebagai bahaya sosial dan psikis. Hal tersebut menjadi satu alasan mengapa aturan pidana kuno berbagi hukuman pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya harus dilakukan di muka umum, yang tidak lain bertujuan untuk memperlihatkan bahaya kepada masyarakat luas. Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada 2 macam yaitu:
1. Teori pencegahan Umum
Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan supaya orang-orang menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan pola oleh masyarakat supaya masyarakat tidak menjiplak dan melaksanakan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. Feuerbach memberkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan Paksaan Psikologis. Dalam teorinya menghendaki penjeraan bukan melalui pidana, melainkan melalui bahaya pidana dalam perundang-undangan. Tetapi apabila bahaya tidak berhasil mencegah suatu kejahatan, maka pidana harus dijatuhkan sebab apabila pidana tidak dijatuhkan akan mengakibatkan hilangnya kekuatan dari bahaya tersebut. Ajaran yang dikembangkan Feuerbach tidak mengenal pembatasan bahaya pidana, hanya syarat bahwa bahaya pidana tersebut harus sudah ditetapkan terlebih dahulu.
2. Teori pencegahan Khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana ialah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana supaya ia tidak mengulang lagi melaksanakan kejahatan dan mencegah supaya orang yang telah berniat jelek untuk tidak mewujudkan niatnya itu kedalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu sanggup dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam yaitu menakut-nakutinya, memperbaikinya, dan membuatnya menjadi tidak berdaya. Van Hamel menciptakan suatu citra wacana pemidanaan yang bersifat pencegahan khusus yaitu:
a.   Pidana selalu dilakukan untuk pencegahan khusus, yakni untuk menakut-nakuti orang-orang yang yang cukup sanggup dicegah dengan cara penjatuhan pidana supaya orang tidak melaksanakan niat jahatnya.
b.   Akan tetapi, jikalau tidak sanggup lagi ditakut-takuti dengan cara menjatuhkan pidana, penjatuhan pidana harus bersifat memperbaiki dirinya.
c.   Jika penjahat itu tidak sanggup diperbaiki, penjatuhan pidana harus bersifat membinasakan atau menciptakan mereka tidak berdaya.
d.   Tujuan satu-satunya dari pidana yaitu mempertahankan tata tertib aturan didalam masyarakat.

C. Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori adonan sanggup dibedakan menjadi dua yaitu:
a.   Teori adonan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu dihentikan melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dimasyarakat.
b.   Teori adonan yang mengutamakan proteksi tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana dihentikan lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.
Titik tolak dari fatwa ini, sebagaimana dianut oleh Hugo Grotius, yaitu bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka ia akan terkena derita. Penderitaan dianggap masuk akal diterima oleh pelaku kejahatan, tetapi manfaat sosial akan mempengaruhi berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Sejalan dengan pandangan tersebut, M.P. Rossi menyatakan bahwa selain pembalasan, prevensi umum juga dianggap tujuan penting dalam aturan pidana. Karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak tepat dan mustahil juga untuk menuntut keadilan yang absolut, maka sanggup kiranya kita mencukupkan diri dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial yang tidak tepat tersebut. Dengan kata lain penerapan aturan pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-syarat yang dituntut oleh masyarakat.
Pandangan menyerupai di atas dengan sudut pandang agama Nasrani juga muncul menyerupai dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang membedakan antara pidana sebagai pidana dan pidana sebagai obat. Maksud pembedaan yang dilakukan oleh Thomas Aquinas tersebut yaitu saat negara menjatuhkan pidana, maka perlu diperhatikan pula fungsi prevensi umum dan prevensi khusus. Dengan fatwa ini akan tercipta kepuasan nurani masyarakat dan ada dukungan rasa kondusif kepada masyarakat. Pembelajaran dan rasa takut juga akan muncul dalam masyarakat, termasuk perbaikan dari pelaku kejahatan. Negara dalam menjatuhkan pidana sebagai pembalasan, penjeraan, dan perbaikan disubordinasikan terhadap kemanfaatan dari penjatuhan pidana tersebut. Pidana sebagai pembalasan dipandang sebagai sarana untuk menegakkan tertib hukum.

Menurut pendapat saya teori aturan pidana yang ada di Indonesia yaitu teori adonan sebab penjatuhan pidana yang ada di indonesia, didasarkan pada asas pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Hal ini sanggup di lihat pada kitab undang-undang hukum pidana yang ada di Indonesia. Peraturan itu dibentuk bukan hanya untuk menakut-nakuti penjahat tetapi juga sanggup memperbaiki dirinya. Dan pidana yang diberikan sanggup manjadikan mereka tidak berdaya. Selain itu pemidanaan juga mengutamakan proteksi tata tertib masyarakat.

Nama                           : Ardi Widayanto
NIM                            : 07401241043
Prodi                           : PKnH’07 Reg
UNY Yogyakarta
Follow: @ardimoviz

Popular posts from this blog

Rencana-Rencana Atau Het Plan

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia yaitu suatu organisasi yang mempunyai tujuan. Tujuan negara Indonesia tersebut termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyiratkan bahwa negara Indonesia yaitu negara h u kum yang menganut welfare state . Sebagai suatu negara h u kum yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya, setiap kegiatan pemerintah di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus menjadikan h u kum yang berlaku sebagai aturan dan pola dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh lantaran itu aturan harus menjadi pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang merupakan bab dari organisasi negara menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan negara dengan mengacu pada aturan manajemen negara sebagai aturan acara pemerintahan dan memfungsikannya sebagai pengarah pencapaian tujuan yang sebelumnya telah ...

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Perihal Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang perihal Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang dipakai ialah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir dipakai kini ialah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965. Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ” Dari ketentuan pasal tersebut sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut: Wilayah Indonesia dibagi ke ...

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013  Jersey Home  Jersey Away Sumber foto: inter.it