Skip to main content

Rekrutmen Politik

  1. Pengertian Rekrutmen Politik
Rekrutmen politik memegang peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Karena proses ini memilih orang-orang yang akan menjalankan fungsi-fungsi sistem politik negara itu melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh lantaran itu, tercapai tidaknya tujuan suatu sistem politik tergantung pada kualitas rekrutmen politik.
Rekrutmen politik yaitu proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik, termasuk partai politik dan manajemen atau birokrasi oleh orang-orang yang akan menjalankan kekuasaan politik (Suharno, 2004: 117). Ada dua macam prosedur rekrutmen politik, yaitu rekrutmen yang terbuka dan tertutup. Dalam model rekrtmen terbuka, semua warga negara yang memenuhi syarat tertentu(seperti kemempuan, kecakapan, umur, keadaan fisik, dsb) mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang ada dalam lembaga negara/pemerintah. Suasana kompetisi untuk mengisi jabatan biasanya cukup tinggi, sehingga orang-orang yang benar-benar sudah teruji saja yang akan berhasil keluar sebagai pemenangnya. Ujian tersebut biasanya menyangkut visinya wacana keadaan masyarakat atau yang di kenal sebagai platform politiknya serta nilai moral yang menempel dalam ddirinya termasuk integritasnya. Sebaliknya, dalam sistem rekrutmen tertutup , kesempatan tersebut hanyalah dinikmati oleh sekelompok kecil orang. Ujian oleh masyarakat terhadap kualitas serta integritas tokoh masyarakat biasanya sangat jarang dilakukan, kecuali oleh sekelompok kecil elite itu sendiri (Suharno, 2004: 117).

  1. Permasalahan dalam Rekrutmen Politik
Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan signifikan dalam masyarakat politik. Dalam konteks rekrutmen politik parlemen, ada sejumlah tanda-tanda yang tidak aman bagi proses membangun demokrasi. Pertama, sistem pemilihan umum proporsional telah mengabadikan dominasi oligarki dalam proses rekrutmen. Elite partai di kawasan sangat berkuasa penuh terhadap proses rekrutmen, yang memilih siapa yang bakal menduduki “nomor topi” dan siapa yang sengsara menduduki “nomor sepatu”. Bagaimanapun contoh oligarki elite itu tidak demokratis, melainkan cenderung memelihara praktik-praktik KKN yang sangat tertutup. Pola tidak menghasilkan DPR yang representatif dan mandatori, melainkan DPR bertipe partisan yang lebih loyal kepada partai politik.
Kedua, proses rekrutmen tidak berlangsung secara terbuka dan partisipatif. Pihak kandidat sama sekali tidak mempunyai sense terhadap konstituen yang menjadi basisnya lantaran beliau hanya “mewakili” kawasan administratif (bukan konstituen yang sebenarnya), sehingga pembelajaran untuk membangun akuntabilitas dan responsivitas menjadi sangat lemah. Sebaliknya masyarakat juga tidak tahu siapa kandidat yang bakal mewakilinya, yang kelak akan membawa dan mempertanggungjawabkan mandat. Publik sering bilang bahwa masyarakat hanya sanggup “membeli kucing dalam karung”. Masyarakat juga tidak sanggup memberikan voice untuk menghipnotis kandidat-kandidat yang duduk dalam daftar calon, lantaran hal ini merupakan otoritas penuh partai politik. Proses obrolan yang terbuka antara partai dengan masyarakat hampir tidak ada, sehingga tidak ada kontrak sosial dimana masyarakat sanggup memperlihatkan mandat kepada partai. Masyarakat hanya memperlihatkan “cek kosong” kepada partai yang kemudian partai sanggup mengisi seenaknya sendiri terhadap “cek kosong” itu.
Ketiga, dalam proses rekrutmen tidak dibangun hubungan (linkage) yang baik antara partai politik dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil hanya dipandang secara numerik sebagai angka, bukan sebagai konstituen yang harus dihormati dan dipejuangkan. Berbagai organisasi masyarakat hanya ditempatkan sebagai underbow, sebuah mesin politik yang memobilisasi massa, bukan sebagai basis usaha politik partai. Sebaliknya, pihak penggerak organisasi masyarakat tidak memandang partai politik sebagai cuilan dari gerakan sosial (social movement) untuk menghipnotis kebijakan dan mengontrol negara, melainkan hanya sebagai “kendaraan politik” untuk meraih kekuasaan dan kekuasaan. Akibatnya, para anggota DPR hanya berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bukan pada misi usaha politik yang mempunyai kegunaan bagi masyarakat. Bahkan saat berhasil menduduki jabatan parlemen, mereka melupakan basis sumbangan massa yang telah mengangkatnya meraih kekuasaan. Tidak sedikit anggota DPRD yang mengabaikan lembaga atau partisipasi ekstraparlementer, lantaran mereka mengklaim bahwa DPRD menjadi lembaga perwakilan paling absah dan partisipasi itu tidak diatur dalam udang-undang atau peraturan daerah.
Keempat, dalam proses rekrutmen, partai politik sering menerapkan pendekatan “asal comot” terhadap kandidat yang dipandang sebagai “mesin politik”. Pendekatan ini cenderung mengabaikan aspek legitimasi, komitmen, kapasitas, dan misi perjuangan. Para mantan tentara dan pejabat diambil bukan lantaran mempunyai visi-misi, melainkan lantaran mereka mempunyai sisa-sisa jaringan kekuasaan. Para pengusaha dicomot lantaran mempunyai duit banyak yang sanggup dipakai secara efektif untuk dana mobilisasi sampai money politics. Para selebritis diambil lantaran mereka mempunyai banyak penggemar. Para ulama (yang selama ini menjadi penjaga moral) juga diambil lantaran mempunyai pengikut masa tradisional. Partai politik secara gampang (dengan iming-iming tertentu) mengambil tokoh ormas, intelektual, atau akademisi di kampus yang haus akan kekuasaan dan ingin mengakibatkan partai sebagai jalan untuk mobilitas vertikal. Sementara para aktivis, intelektual maupun akademisi yang konsisten pada misi perjuangannya tidak mau bergabung atau sulit diajak bergabung ke partai politik, lantaran dalam partai politik tidak terjadi dialektika untuk memperjuangkan idealisme. Sekarang pendekatan “asal comot” yang dilakukan partai semakin kentara saat undang-undang mewajibkan kuota 30% dingklik untuk kaum perempuan.
Kelima, proses kampanye (sebagai cuilan dari prosedur rekrutmen) tidak diisi dengan pengembangan ruang publik yang demokratis, obrolan yang terbuka dan sebagai arena untuk kontrak sosial untuk membangun visi bersama, melainkan hanya sebagai ajang show of force,banter-banteran knalpot, dan obral janji. Bagi para pendukung partai, kampanye menjadi ajang pesta dan arena untuk menyalurkan verbal identitas yang kurang beradab. Mereka sanggup memperoleh “wur-wur” dalam bentuk jaket, topi, kaos, atribut-atribut partai lain secara gratis, mendapatkan sembako atau sekadar uang bensin, dan lain-lain. Ketika kampanye digelar, yang hadir hanyalah fungsionaris partai dan para pendukungnya, bukan stakeholders yang luas untuk memberikan mandat dari masyarakat.
Keenam, proses pemilihan umum dan proses rekrutmen bekerja dalam konteks “massa mengambang” yang kurang terdidik dan kritis. Dalam jangka yang cukup panjang masyarakat Indonesia tidak memperoleh pendidikan politik secara sehat sehingga menghasilkan jutaan pemilih tradisional yang sangat rentan dengan praktik-praktik mobilisasi. Sekarang, meski ada kebebasan yang terbuka, pendidikan politik secara sehat belum terjadi. Partai politik tidak memainkan tugas yang memadai dalam pendidikan politik kepada masyarakat. Sampai kini sebagian besar rakyat Indonesia yaitu silent majority, yang tenang, apatis (masa bodoh) dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik. Akibatnya budaya politik yang partisipatif (civic culture) belum terbangun. Kondisi menyerupai ini tentu saja tidakmemungkinkan terjadinya proses rekrutmen secara terbuka dan partisipatif.(ardi)

Popular posts from this blog

Rencana-Rencana Atau Het Plan

Sebagaimana kita ketahui bahwa negara Indonesia yaitu suatu organisasi yang mempunyai tujuan. Tujuan negara Indonesia tersebut termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945, yang menyiratkan bahwa negara Indonesia yaitu negara h u kum yang menganut welfare state . Sebagai suatu negara h u kum yang bertujuan untuk mensejahterakan warganya, setiap kegiatan pemerintah di samping harus diorientasikan pada tujuan yang hendak dicapai juga harus menjadikan h u kum yang berlaku sebagai aturan dan pola dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh lantaran itu aturan harus menjadi pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemerintah yang merupakan bab dari organisasi negara menjalankan kegiatannya untuk mencapai tujuan negara dengan mengacu pada aturan manajemen negara sebagai aturan acara pemerintahan dan memfungsikannya sebagai pengarah pencapaian tujuan yang sebelumnya telah ...

Perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Perihal Pemerintah Daerah

BAB I PENDAHULUAN Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang perihal Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang dipakai ialah UU No. 5 tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22 tahun 1999. dan yang terakhir dipakai kini ialah UU No. 32 tahun 2004. Sebelum UU No.5 digunakan, terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965. Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ” Dari ketentuan pasal tersebut sanggup ditarik kesimpulan sebagai berikut: Wilayah Indonesia dibagi ke ...

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013

New Jersey Home Away Inter 2012 - 2013  Jersey Home  Jersey Away Sumber foto: inter.it